
Technologue.id, Jakarta - Dunia startup lokal lagi-lagi tercoreng. Bukan karena teknologi yang lemah. Bukan pula karena pasar yang tidak siap. Tapi karena integritas yang rapuh di level paling atas.
Dalam orasi ilmiah di Dies Natalis ke-44 BINUS University, Prof. Dr. Gatot Soepriyanto justru menekankan bahwa krisis kepemimpinan adalah biang kerok utama dari kegagalan sejumlah startup fintech ternama.
Dengan membedah kasus eFishery, KoinWorks, Investree, TaniFund, dan Crowde, Prof. Gatot menunjukkan bagaimana tekanan pertumbuhan, lemahnya kontrol internal, dan rasionalisasi keputusan menyimpang di level CEO menyebabkan kehancuran. Pendekatan teoritis yang digunakan pun lengkap—mulai dari Fraud Triangle, Agency Theory, hingga Upper Echelon.
Statistiknya mencemaskan. Dana venture capital (VC) di Asia Tenggara turun dari USD 21,2 miliar (2021) menjadi USD 18,2 miliar (2023), dan skandal startup dari Indonesia disebut sebagai pemicu utama. “Chilling effect” menjadi istilah yang menggambarkan rasa enggan investor global terhadap risiko moral yang belum terkelola.
Menurut Prof. Gatot, jika CEO terlibat fraud, tak ada sistem atau teknologi yang bisa menyelamatkan perusahaan. "Tone at the top" menjadi penentu. Budaya organisasi harus dibangun dari atas, dengan integritas sebagai pondasi utama.
Sebagai solusi, Prof. Gatot merekomendasikan audit forensik rutin oleh regulator, kewajiban pembentukan dewan pengawas independen sejak pendanaan Seri A, dan penguatan kurikulum etika bisnis di perguruan tinggi.
"Teknologi hebat tanpa etika hanya akan mempercepat kerusakan," ujar saat ditemui Technologue.id di Jakarta.
BINUS University juga menyatakan komitmennya dalam membangun talenta digital yang tak hanya inovatif, tetapi juga bertanggung jawab. Dengan pendekatan berbasis studi kasus nyata, kampus ini mendorong lahirnya generasi digital yang siap menghadapi tantangan kepemimpinan modern.