Contact Information

Alamat: Komplek Rumah Susun Petamburan Blok 1 Lantai Dasar, Tanah Abang - Jakpus 10260

We're Available 24/ 7. Call Now.
Infrastruktur Telekomunikasi Dikuasai Huawei, Kedaulatan Digital Indonesia Terancam?
SHARE:

Technologue.id, Jakarta - Huawei kini berada di puncak dominasi infrastruktur jaringan telekomunikasi Indonesia. Perusahaan asal Tiongkok ini mampu mengungguli para pesaingnya lewat keunggulan harga dan pendekatan strategis yang cerdas, termasuk membangun program pelatihan serta menjalin kedekatan dengan pemerintah dan operator lokal.

Dominasi Huawei di industry telekomunikasi di Indonesia mendapatkan perhatian dari Institut Kebijakan Strategis Australia atau Australian Strategic Policy Institut (ASPI).

Menurut Lembaga independen tersebut, dominasi Huawei di Indonesia bukan tanpa risiko. Ketergantungan tinggi terhadap satu vendor asing seperti ini bisa mengikis kedaulatan digital dan mengurangi otonomi strategis Indonesia.

Lembaga kajian kebijakan asal Australia tersebut agar tetap bisa mengendalikan arah transformasi digital, Indonesia perlu mulai mempertimbangkan aspek strategis dalam setiap pengambilan keputusan terkait jaringan telekomunikasi.

Transformasi digital nasional sebagian besar digerakkan oleh sektor swasta, terutama para operator telekomunikasi. Mereka sangat bergantung pada peralatan jaringan dari vendor asing—dan Huawei telah lama menjadi pemain utama. Ketergantungan ini sudah berjalan selama bertahun-tahun.

Pada 2019, Menkominfo saat itu, Rudiantara, secara terbuka mengakui peran besar Huawei di sektor telekomunikasi Indonesia. Hal senada disampaikan CFO XL Axiata, yang menyebutkan bahwa 60 hingga 70 persen infrastruktur jaringan di Indonesia bergantung pada Huawei.

Baca juga:
Komisi Komunikasi Telusuri Pelanggaran Huawei dan ZTE

Meski eksistensinya jelas terasa di lapangan, angka pasti soal seberapa dominan Huawei masih sering samar. Kini, data terbaru dari ASPI mengonfirmasi bahwa Huawei menyuplai 70 persen peralatan jaringan untuk operator besar seperti XL, Indosat, dan Smartfren pada 2024. Meski data Telkomsel tidak tersedia, gambaran ini sudah cukup kuat untuk menunjukkan dominasi Huawei yang menggeser pemain lama seperti Ericsson, Nokia, dan Alcatel.

Pemilihan vendor biasanya dilandasi pertimbangan teknis dan komersial. Secara teknis, siklus hidup produk dan teknologi berbasis AI jadi faktor penting. Dari sisi komersial, harga dan skema pembayaran jadi pertimbangan utama operator.

Dari laman resmi ASPI disebutkan bahwa Huawei mampu menawarkan harga lebih kompetitif berkat dukungan subsidi negara dari pemerintah Tiongkok, termasuk keringanan pajak dan dana riset. Ini memberinya keunggulan dibanding vendor lain, termasuk dalam layanan pemeliharaan jaringan seperti yang terlihat pada kontrak outsourcing dengan XL Axiata.

Tak berhenti di aspek teknis dan harga, Huawei juga aktif membangun pengaruh lewat pelatihan dan transfer pengetahuan. Mereka menjalin kerja sama dengan instansi penting seperti Istana Presiden, BSSN, hingga TNI, termasuk memberi pelatihan keamanan siber.

Tak hanya itu, Huawei juga membangun pusat pelatihan dan mengadakan workshop di berbagai kampus dan SMK. Pendekatan personal pun ditempuh, seperti mengundang pejabat penting ke markas besar Huawei dan menandatangani kerja sama peningkatan kapasitas. Salah satu tokoh yang kerap muncul dalam jaringan ini adalah Luhut Pandjaitan, yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional di era Presiden Prabowo.

Baca juga:
Sasar Bisnis 5G, Huawei dan XL Axiata Bangun Jaringan Inti Terkonvergensi Penuh

Sayangnya, peran pemerintah dalam proses pemilihan vendor masih minim. Meski sudah ada undang-undang soal perlindungan data pribadi dan keamanan siber, belum tersedia regulasi spesifik untuk mengukur risiko ketergantungan vendor dalam konteks keamanan nasional. Audit teknologi strategis pun masih minim dilakukan secara terbuka.

Di tingkat makro, dominasi Huawei membuka celah risiko geopolitik. Ketika tensi antara AS dan Tiongkok semakin tajam, Huawei kerap jadi sasaran pembatasan di banyak negara Barat. Ketergantungan Indonesia pada Huawei bisa membatasi akses teknologi dari Barat, apalagi jika infrastruktur 4G yang kini dikuasai Huawei makin tertanam kuat.

Sementara itu, di level mikro, kekuatan pasar Huawei membuat posisi tawar operator jadi lemah. Mereka jadi price taker, tanpa banyak ruang untuk negosiasi. Berpindah vendor pun tidak mudah—biayanya mahal dan prosesnya rumit. Efeknya? Bisa menciptakan biaya investasi yang lebih tinggi dan pada akhirnya dibebankan ke konsumen.

Masalah ini bisa membesar saat 5G mulai diadopsi secara luas. Berbeda dengan generasi sebelumnya, 5G akan menopang aplikasi kritikal di level industri. Kalau sampai ada celah keamanan, dampaknya bisa sangat serius. Kini dengan minimnya alternatif nyata, Indonesia pun berisiko kehilangan otonomi digitalnya.

Karena itu, ASPI menilai peran aktif pemerintah menjadi sangat krusial. Bukan hanya soal teknis dan biaya, tapi juga soal arah strategis bangsa. Regulasi dan evaluasi menyeluruh terhadap risiko vendor tunggal harus segera menjadi prioritas nasional.

SHARE:

Awas Data Bocor! 5 Tips Jaga Privasi di Era Digital

Incar Geliat Ekosistem Digital, Indonet Perkuat Fondasi Jaringan Infrastruktur Digital