Contact Information

Alamat: Komplek Rumah Susun Petamburan Blok 1 Lantai Dasar, Tanah Abang - Jakpus 10260

We're Available 24/ 7. Call Now.
Karyawan Rela Gaji Dipotong 25% Demi Kerja dari Rumah, Kok Bisa?
SHARE:

Bayangkan Anda dihadapkan pada dua pilihan: pekerjaan dengan gaji Rp 200 juta per tahun yang mengharuskan Anda masuk kantor lima hari seminggu, atau pekerjaan serupa dengan gaji Rp 150 juta namun bisa dikerjakan sepenuhnya dari rumah. Mana yang akan Anda pilih? Bagi banyak profesional modern, jawabannya semakin jelas: mereka rela kehilangan Rp 50 juta per tahun demi kebebasan bekerja dari mana saja.

Lima tahun telah berlalu sejak pandemi mengubah lanskapar kerja global, namun perdebatan tentang kerja jarak jauh justru semakin memanas. Di satu sisi, raksasa korporasi seperti Amazon, Walmart, JPMorgan, dan Uber memaksa karyawan kembali ke kantor lima hari seminggu. Di sisi lain, perusahaan teknologi seperti Google, Apple, Meta, dan Microsoft menerapkan kebijakan hybrid dengan tiga hingga empat hari kerja di kantor. Tapi tahukah Anda bagaimana respons para pekerja?

Mereka melawan dengan cara-cara kreatif: datang terlambat, pulang lebih awal, melakukan "coffee badging" (hanya mampir ke kantor untuk minum kopi), hingga mengambil camisan kantor secara diam-diam. Bahkan muncul tren "hushed hybrid" di mana karyawan bekerja dari rumah meski seharusnya berada di kantor—sebuah praktik yang sering diabaikan manajer yang sudah kelelahan menegakkan aturan. Dalam situasi yang penuh ketegangan ini, sebuah penelitian terbaru justru mengungkapkan betapa berharganya fleksibilitas kerja bagi para profesional modern.

Fleksibilitas Lebih Berharga Daripada Uang?

Sebuah studi kolaboratif dari Harvard University, Brown University, dan UCLA mengungkapkan temuan yang mungkin mengejutkan banyak perusahaan. Rata-rata pekerja bersedia melepas sekitar 25% dari total kompensasi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang menawarkan opsi kerja jarak jauh parsial atau penuh. Angka ini jauh lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya dan menunjukkan pergeseran nilai yang fundamental dalam dunia kerja.

"Individu rata-rata bersedia mengorbankan sekitar 25% dari total kompensasi untuk pekerjaan yang identik tetapi menawarkan kerja parsial atau sepenuhnya jarak jauh alih-alih sepenuhnya tatap muka," jelas para peneliti Zoë Cullen (Harvard), Bobak Pakzad-Hurson (Brown), dan Ricardo Perez-Truglia (UCLA). Untuk memberikan perspektif yang lebih konkret, Perez-Truglia memberikan contoh kepada Wall Street Journal: jika seorang kandidat mendapat tawaran pekerjaan senilai $200,000 yang mengharuskan lima hari di kantor, dan tawaran lain senilai $150,000 yang mengizinkan kerja jarak jauh, rata-rata kandidat yang ingin bekerja dari rumah akan menerima pemotongan gaji sebesar $50,000.

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Riset SEEK menunjukkan tren kerja jarak jauh semakin populer di Indonesia, mencerminkan perubahan preferensi tenaga kerja lokal yang mulai sejalan dengan tren global.

Metodologi yang Lebih Akurat Mengungkap Realitas Baru

Penelitian ini mengumpulkan data survei antara Mei 2023 dan Desember 2024 melalui eksperimen lapangan dengan Levels.fyi, platform yang menyediakan data upah komprehensif untuk profesional teknologi. Survei mengumpulkan data terperinci tentang penawaran pekerjaan dan alternatif yang akhirnya dipilih pekerja, termasuk karakteristik seperti total kompensasi, lokasi pekerjaan, dan apakah posisi tersebut bersifat jarak jauh.

Studi ini juga menggunakan data Glassdoor termasuk peringkat employer serta pengukuran kualitas hidup dan biaya hidup. Yang membuat temuan ini signifikan adalah perbedaannya yang mencolok dengan penelitian sebelumnya. Meskipun bukan berita baru bahwa pekerja bersedia menerima pemotongan gaji untuk bekerja secara remote, studi-studi sebelumnya dinilai telah meremehkan tingkat pemotongan gaji yang akan mereka terima.

"Perkiraan kami tiga hingga lima kali lebih besar dari studi sebelumnya, yang sebagian kami atribusikan pada perbedaan metodologis," para peneliti menjelaskan. Metodologi yang lebih komprehensif inilah yang berhasil menangkap nilai sebenarnya yang diberikan pekerja terhadap fleksibilitas kerja.

Generasi Muda Memimpin Perubahan Nilai Kerja

Temuan dari studi Harvard-Brown-UCLA ini sejalan dengan penelitian lain yang melibatkan generasi muda. Pada Mei lalu, LinkedIn merilis studi yang menunjukkan hampir 40% pekerja Gen Z dan milenial mengatakan mereka akan menerima pemotongan gaji sebagai imbalan untuk lebih banyak fleksibilitas tentang di mana mereka bekerja. Di semua generasi, angkanya mencapai 32%. Mereka mensurvei 4.000 pekerja yang berbasis di AS.

Studi lain tahun ini oleh firma rekrutmen Robert Half menunjukkan bahwa ketika kesenjangan antara ekspektasi gaji kandidat dan penawaran terlalu besar, banyak employer bernegosiasi mengenai kerja jarak jauh dan hybrid untuk membuat kandidat menandatangani kontrak. Ini membuktikan bahwa fleksibilitas telah menjadi mata uang baru dalam negosiasi pekerjaan.

Bahkan di sektor teknologi, mayoritas profesional TI setuju ITSM tetap efektif dalam lingkungan kerja jarak jauh, menghilangkan kekhawatiran banyak perusahaan tentang produktivitas tim teknologi ketika bekerja remote.

Kisah Nyata: Uang Bukan Segalanya

Laura Roman, seorang senior talent acquisition manager dengan firma pemasaran berbasis London Up World, menulis dalam postingan LinkedIn April lalu tentang salah satu kandidatnya yang menerima pemotongan gaji £7,000—sekitar $9,300—untuk pekerjaan yang sepenuhnya remote.

"Pendiri awalnya ragu-ragu. Dia tidak bisa memahaminya. Mengapa ada orang yang dengan sukarela menerima lebih sedikit uang?" tulis Roman. "Tapi kemudian dia tersadar. Mereka menawarkan sesuatu yang sama berharganya dengan gaji yang lebih besar (untuk kandidat itu): fleksibilitas."

"Tidak semua orang mampu menukar uang dengan fleksibilitas, tetapi bagi mereka yang bisa, ini menjadi pilihan yang jelas," tambahnya.

Theresa L. Fesinstine, pendiri penasihat sumber daya manusia Peoplepower.ai, juga sebelumnya mengatakan kepada Fortune bahwa dia melihat beberapa kandidat pekerjaan menerima 5% hingga 15% lebih sedikit bayaran sebagai imbalan untuk kerja jarak jauh. "Ada nilai tukar yang tidak terucapkan antara fleksibilitas dan kompensasi, dan bagi beberapa kandidat, ini layak untuk pengorbanan yang signifikan," katanya. Ini terutama benar "bagi mereka yang menghargai keseimbangan kerja-kehidupan atau menghemat biaya perjalanan."

Perusahaan-perusahaan Indonesia pun mulai menanggapi tren ini. Flip membuka lowongan kerja jarak jauh yang menunjukkan adaptasi perusahaan lokal terhadap preferensi tenaga kerja modern.

Penolakan dan Kritik: Apakah Ini Adil?

Namun, tidak semua pekerja menyambut baik gagasan menerima gaji lebih rendah hanya untuk bekerja dari rumah. Sebagai respons terhadap studi Harvard Business School yang menunjukkan 40% pekerja akan menerima setidaknya pemotongan gaji 5% untuk bekerja dari rumah, seorang pengguna Reddit mempertanyakan dalam postingan tahun ini: "Maksudnya, saya terus bekerja dari rumah dan mereka memotong gaji saya 20%? Sementara perusahaan diuntungkan dari tidak menyediakan ruang untuk saya di kantor (menghemat listrik, sewa, air, konsesi, dll.), tidak membayar internet atau telepon saya, dll.?"

"Sama sekali tidak," tulis pengguna tersebut. Kritik ini menyoroti ketidakseimbangan yang dirasakan: sementara pekerja menerima pemotongan gaji, perusahaan justru menghemat biaya operasional yang signifikan.

Bagi mereka yang memilih untuk bekerja remote, enam rekomendasi akomodasi dapat membuat aktivitas kerja jarak jauh lebih menyenangkan, menunjukkan bahwa lingkungan kerja yang nyaman menjadi investasi penting ketika memilih gaya kerja ini.

Masa Depan Kerja: Fleksibilitas sebagai Standar Baru

Pergeseran nilai ini menandai perubahan fundamental dalam hubungan antara pekerja dan perusahaan. Fleksibilitas tidak lagi dianggap sebagai benefit tambahan, tetapi sebagai komponen inti dari paket kompensasi. Perusahaan yang memahami dan beradaptasi dengan perubahan ini akan memiliki keunggulan kompetitif dalam merekrut dan mempertahankan talenta terbaik.

Pertanyaannya sekarang adalah: apakah perusahaan siap mengakomodasi perubahan nilai ini? Atau apakah mereka akan terus bersikeras pada model kerja tradisional yang semakin ditolak oleh tenaga kerja modern? Jawabannya akan menentukan masa depan tempat kerja dan hubungan industrial di tahun-tahun mendatang.

Yang jelas, pertukaran antara gaji dan fleksibilitas telah menjadi kenyataan baru dalam dunia kerja. Bagi banyak profesional, waktu yang dihabiskan dengan keluarga, kebebasan dari perjalanan panjang, dan kendali atas jadwal mereka sendiri ternyata memiliki nilai finansial yang dapat diukur—dan nilainya cukup tinggi untuk mengkompensasi pemotongan gaji yang signifikan. Dalam ekonomi modern, kebebasan mungkin memang tidak gratis, tetapi bagi semakin banyak pekerja, harganya sepadan.

SHARE:

Spotify x ChatGPT: Rekomendasi Musik Personal Lewat Obrolan AI

Cara Bikin Gmail Tanpa Nomor HP 2025, Gampang & Aman!