Contact Information

Alamat: Komplek Rumah Susun Petamburan Blok 1 Lantai Dasar, Tanah Abang - Jakpus 10260

We're Available 24/ 7. Call Now.
Mobil Mewah Ponpes Al Khoziny: Ironi di Balik Reruntuhan Musala
SHARE:

Bayangkan sebuah Mercedes-Benz mewah yang baru dua minggu menikmati jalanan, tiba-tiba harus berakhir sebagai besi tua yang hancur di bawah reruntuhan bangunan. Nilainya yang mencapai miliaran rupiah seketika berubah menjadi onggokan logam tak berbentuk, bersanding dengan tragedi kemanusiaan yang merenggut nyawa. Inilah ironi pahit yang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, dimana kemewahan dan keselamatan justru bertolak belakang.

Musibah robohnya musala di Ponpes Al Khoziny pada awal Oktober 2025 bukan sekadar bencana struktural biasa. Lebih dari itu, tragedi ini membuka kotak Pandora tentang bagaimana sebuah lembaga pendidikan keagamaan mengelola prioritas antara kemewahan pribadi dan keselamatan kolektif. Sementara proses evakuasi masih berlangsung oleh tim Basarnas, publik justru lebih dikejutkan oleh penemuan mobil mewah milik pengasuh ponpes yang ikut menjadi korban reruntuhan.

Fakta bahwa Mercedes-Benz tersebut baru dibeli dua minggu sebelum musibah terjadi menambah dimensi baru dalam narasi tragedi ini. Bagaimana mungkin sebuah ponpes mampu membeli kendaraan senilai miliaran rupiah, sementara pembangunan tempat ibadah justru diabaikan standar keamanannya? Pertanyaan inilah yang kini menghantui masyarakat dan memicu gelombang kritik terhadap transparansi pengelolaan ponpes.

Kemewahan yang Terkubur Reruntuhan

Dalam proses evakuasi yang dilakukan tim Basarnas, terungkap fakta mengejutkan tentang kondisi mobil pengasuh Ponpes Al Khoziny. Kendaraan berwarna hitam yang diduga Mercedes tersebut ditemukan dalam keadaan hancur total, dengan bagian atas dan bodi yang sudah tidak berbentuk. Hanya bagian roda yang masih terlihat utuh, memberikan petunjuk tentang identitas kendaraan mewah ini.

Berdasarkan analisis dari foto-foto yang beredar di media sosial, khususnya melalui unggahan akun X @RadioElshinta dan @ikhwanuddin, warganet berspekulasi tentang jenis kendaraan yang hancur tersebut. Dari potongan bentuk velg ban yang masih bisa dikenali, muncul dua kemungkinan kuat: Mercedes-Benz A 200 Hatchback dengan banderol Rp770 juta hingga Rp 1,03 miliar, atau Mercedes-Benz seri S (S-Class) yang harganya bisa mencapai Rp 3 miliar hingga Rp 8 miliar.

Namun, yang lebih mencengangkan adalah pengakuan dari salah satu pengguna media sosial yang menyebutkan bahwa Mercedes tersebut baru dibeli sekitar dua minggu sebelum musala roboh. "Fun fact, kyainya punya Fortuner lama, Pajero Sport Dakar Ulti, sama Vellfire gen 3, Mercedes itu ternyata baru 2 minggu belinya hehe," tulis salah satu pengguna X. Pernyataan ini semakin mengukuhkan citra kemewahan yang melekat pada pengelola ponpes.

Kontras yang Menyakitkan: Kemewahan vs Kelalaian

Yang membuat publik geram bukan sekadar keberadaan mobil mewah di lingkungan pesantren, tetapi kontras yang terlalu mencolok antara kemampuan finansial untuk kemewahan pribadi dan kelalaian dalam membangun infrastruktur publik. Seorang pakar teknik sipil yang menanggapi insiden ini menyoroti ketidakproporsionalan struktur bangunan musala empat lantai tersebut.

Berdasarkan foto dari Google Maps yang beredar, tiang penyangga bangunan musala terlihat terlalu kecil untuk menopang beban bangunan setinggi itu. Desain yang tidak memenuhi standar teknis inilah yang diduga menjadi penyebab utama robohnya bangunan. Ironisnya, sementara dana untuk membangun struktur yang aman dianggap tidak ada, dana untuk membeli Mercedes-Benz senilai miliaran rupiah justru tersedia.

Seperti yang dikritik tajam oleh akun @CFALEV****: "Mercy itu kalau laku dijual harga Rp 1 miliar bisa buat ngecor tiang kolom 166 meter kubik. Apabila setiap kolom ukurannya 50cm x 50cm maka dapat 664 meter. Misal tinggi kolom 3 meter maka dapat 221 kolom yang proper." Perhitungan sederhana ini menunjukkan betapa tidak seimbangnya alokasi dana yang dilakukan pengelola ponpes.

Respons Publik: Kemarahan dan Kekecewaan

Gelombang kritik dari masyarakat terutama difokuskan pada pernyataan pengasuh Ponpes Al Khoziny, KH Abdul Salam Mujib, yang menyebut musibah robohnya musala sebagai bagian dari takdir Tuhan. "Saya kira memang ini takdir dari Allah. Jadi semuanya harus bisa bersabar. Dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik," ujarnya dalam sebuah wawancara.

Pernyataan ini menuai badai kritik dari warganet yang menilai adanya upaya mengalihkan tanggung jawab dari kelalaian struktural ke dalam ranah takdir. @guhku*** menanggapi: "Beli Mercedes Benz mampu, mikir dan bertindak rasional nggak mampu. Bangunan nggak sesuai standar, terus ambruk dan makan korban bilangnya takdir? Lebih anehnya masyarakat percaya?"

Kritik juga datang dari orang yang mengaku memahami kondisi internal ponpes. @ha****** menulis: "Kemarin ada yang bilang, ponpes punya uang dari mana buat bangun gedung yang proper. Mereka nggak punya dana sebesar itu untuk bayar kuli ahli makanya pake tenaga santri. Mamam tuh nggak punya dana! Buat beli mobil Mercy ada dana, buat bangun ponpes nggak ada. Munafikun."

Implikasi bagi Dunia Pendidikan Keagamaan

Tragedi di Ponpes Al Khoziny seharusnya menjadi alarm peringatan bagi seluruh lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia. Bukan sekadar tentang transparansi keuangan, tetapi lebih mendasar lagi tentang filosofi pengelolaan lembaga yang seharusnya mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan bersama di atas kepentingan pribadi.

Seperti yang disarankan oleh @slow_******: "Bangun ponpes konstruksi dan bahannya amburadul, giliran beli Mercedes-Benz mampu. Dimohon para warga jangan kirim anak kalian ke ponpes nggak jelas. Kalau mau masukin aja ke ponpes modern yang sudah punya nama." Pernyataan ini merefleksikan eroding trust masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang tidak transparan.

Pelajaran terbesar dari insiden ini mungkin terletak pada pentingnya audit independen terhadap pembangunan infrastruktur pesantren. Standar keselamatan bangunan seharusnya tidak bisa ditawar-tawar, apalagi untuk bangunan yang menampung banyak orang seperti musala dan asrama santri. Penggunaan tenaga santri untuk pembangunan tanpa pengawasan ahli justru membahayakan nyawa mereka sendiri.

Sementara proses evakuasi masih terus berlangsung, masyarakat berharap tragedi ini tidak hanya berakhir sebagai berita sensasional semata. Harapan terbesar adalah munculnya regulasi yang lebih ketat untuk memastikan setiap lembaga pendidikan, terutama pesantren, mematuhi standar keselamatan bangunan dan transparansi pengelolaan dana. Karena ketika kemewahan pribadi diutamakan di atas keselamatan publik, maka yang terjadi bukanlah takdir, melainkan konsekuensi dari kelalaian yang sebenarnya bisa dicegah.

SHARE:

Animasi Tersembunyi di Xiaomi HyperOS yang Bikin HP Lebih Hidup

WhatsApp Siapkan Sistem Reservasi Username, Begini Cara Kerjanya