Technologue.id, Jakarta - Charlie Javice, pendiri startup fintech Frank, dinyatakan bersalah atas penipuan terhadap JPMorgan Chase. Tak tanggung, 'prank' yang dilakukan pendiri startup itu senilai $175 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun.
Kasus ini menunjukkan bagaimana seorang pengusaha muda bisa menipu salah satu bank terbesar di dunia. Model penipuan yang dilakukan Frank yaitu dengan klaim yang dilebih-lebihkan.
Frank didirikan untuk menyederhanakan proses aplikasi bantuan keuangan bagi mahasiswa. Perusahaan ini mengklaim mampu mempermudah pengisian formulir Free Application for Federal Student Aid (FAFSA).
Baca juga:
7 Aplikasi Booking Tiket Pesawat Terbang untuk Mudik Lebaran
Dilansir Business Insider, klaim terkait solusi kemudahan itu ternyata menarik perhatian investor dan media. Javice bahkan masuk dalam daftar bergengsi kumpulan orang sukses dan berkontribusi tinggi dari Forbes, 30 Under 30.
JPMorgan tertarik mengakuisisi Frank pada 2021 dengan harapan memperluas basis nasabah muda mereka. Javice mengklaim Frank memiliki lebih dari 4 juta pengguna, padahal jumlah sebenarnya hanya sekitar 300.000.
Untuk mendukung kebohongannya, Javice membayar seorang profesor agar membuat data sintetis yang mencerminkan jutaan pengguna palsu. Data ini kemudian digunakan untuk meyakinkan JPMorgan agar melanjutkan akuisisi.
Baca juga:
Daftar Aplikasi yang Wajib Ada di Ponsel Biar Mudik Makin Seru
Setelah persidangan selama lima minggu di pengadilan federal Manhattan, juri menyatakan Javice bersalah atas beberapa tuduhan penipuan. Olivier Amar, rekan eksekutifnya, juga dinyatakan bersalah dalam kasus ini.
Keduanya menghadapi ancaman hukuman penjara yang signifikan karena keseriusan kejahatan mereka. Vonis ini menjadi pengingat keras bagi dunia startup agar lebih transparan dalam membangun bisnis.