
Bayangkan jika 20% pendapatan Anda tiba-tiba bertambah—itulah dampak ekonomi yang bisa dihasilkan ketika perempuan diberi ruang setara di dunia digital. Bukan sekadar mimpi, ini adalah realitas yang sedang diperjuangkan oleh para pemimpin visioner di Indonesia.
Dalam landscape teknologi yang bergerak cepat, isu kesetaraan gender seringkali terpinggirkan oleh narasi inovasi dan disrupti. Padahal, data menunjukkan bahwa meskipun perempuan mengisi 42% tenaga kerja global dan 50% posisi entry-level di berbagai sektor, hanya 25% yang berhasil mencapai posisi kepemimpinan puncak. Ketimpangan ini bukan hanya masalah sosial, tetapi juga pemborosan potensi ekonomi yang luar biasa.
Perayaan ITU Girls in ICT Day 2025 Indonesia menjadi momentum penting untuk membalikkan narasi ini. Dengan komitmen kolektif dari pemerintah, lembaga internasional, dan sektor swasta, transformasi digital inklusif bukan lagi wacana, tetapi kebutuhan strategis untuk masa depan ekonomi global.
Dampak Ekonomi yang Tidak TerbantahkanMira Tayyiba, Dirjen Teknologi Pemerintah Digital Kementerian Komunikasi dan Digital, menyampaikan fakta mengejutkan dalam acara tersebut. "Ketika perempuan diberi ruang untuk berkontribusi secara bermakna," tegasnya, "PDB per kapita global berpotensi meningkat hingga 20 persen, dan ekonomi dunia bisa tumbuh lebih dari 5 triliun dolar AS."
Angka ini bukan sekadar proyeksi optimis, melainkan hasil studi mendalam yang menunjukkan korelasi langsung antara partisipasi perempuan dan pertumbuhan ekonomi. Mira menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan dalam dunia digital bukan hanya soal keadilan sosial, tetapi strategi cerdas yang bisa mendongkrak daya saing bangsa.
Gita Sabharwal, Perwakilan United Nations Resident Coordinator Indonesia, memperkuat pernyataan ini dengan penekanan pada aspek keberlanjutan. "Negara yang menjamin akses setara bagi perempuan di bidang teknologi," katanya, "akan memiliki daya saing ekonomi yang lebih kuat dan berkelanjutan."

Fenomena glass ceiling dalam dunia teknologi masih menjadi tantangan nyata. Meskipun perempuan mendominasi posisi awal, hanya seperempat yang berhasil menembus lapisan kepemimpinan tertinggi. Mira Tayyiba menyuarakan keprihatinan mendalam atas ketimpangan ini.
"Dunia tidak kekurangan perempuan cerdas dan visioner," ujarnya dengan penuh keyakinan, "yang kurang adalah sistem yang memberi mereka ruang untuk bersinar dan membawa perubahan."
Pernyataan ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk menciptakan ekosistem yang mendukung. Bukan sekadar memberikan kesempatan, tetapi membangun infrastruktur sosial dan profesional yang memungkinkan perempuan berkembang optimal. Inisiatif seperti Female Future Leader yang melahirkan 100 perempuan talenta digital menjadi bukti nyata bahwa dengan sistem yang tepat, potensi perempuan bisa dikembangkan maksimal.
Baca Juga:
Mira Tayyiba menawarkan perspektif segar tentang pendidikan teknologi masa depan. Bukan sekadar penguasaan STEM (sains, teknologi, rekayasa, dan matematika), tetapi perpaduan harmonis antara logika teknis dan nilai-nilai kemanusiaan.
"Masa depan digital yang ideal," jelasnya, "bukan hanya soal algoritma dan kecerdasan buatan, tetapi juga tentang bagaimana teknologi bisa menyentuh kehidupan manusia secara positif."
Pendekatan holistik ini menjadi kunci untuk menciptakan solusi teknologi yang tidak hanya canggih, tetapi juga relevan dan berdampak positif bagi masyarakat. Kombinasi antara empati dan keahlian teknis inilah yang akan melahirkan inovasi-inovasi transformatif.
Program Indosat yang menggagas inklusivitas digital melalui SheHacks 2025 menjadi contoh nyata bagaimana pendekatan ini diimplementasikan. Dengan menyasar perempuan dari berbagai daerah, program ini tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga membangun mindset kepemimpinan dan empati sosial.
Strategi Nasional untuk Talenta Digital PerempuanKementerian Komunikasi dan Digital tidak tinggal diam. Melalui berbagai program unggulan seperti Digital Talent Scholarship, MSMEs Level Up, dan inisiatif literasi digital, pemerintah secara aktif memperluas akses pelatihan digital bagi perempuan.
"Perempuan yang cakap digital," tegas Mira, "akan menjadi penggerak utama perubahan sosial dan ekonomi. Mereka bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi pencipta masa depan yang lebih cerah."
Visi ini sejalan dengan inisiatif sektor swasta seperti TikTok, Tokopedia, dan TikTok Shop yang memperkuat komitmen pemberdayaan perempuan di era digital. Kolaborasi multipihak ini menciptakan ekosistem yang komprehensif untuk mengakselerasi partisipasi perempuan dalam ekonomi digital.
Perspektif Global dan Kerja Sama Lintas NegaraPerwakilan ITU Keishor Yarabala membawa perspektif internasional dalam diskusi ini. Dia menekankan pentingnya kerja sama lintas negara untuk memperluas akses perempuan terhadap pendidikan dan pelatihan teknologi.
"Urgensi membuka peluang bagi anak perempuan untuk belajar coding, memahami data, dan mengenal kecerdasan buatan sejak dini," jelas Yarabala. "Dunia digital harus menjadi ruang yang terbuka dan aman bagi semua, tanpa terkecuali."
Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa transformasi digital inklusif bukan hanya tanggung jawab satu negara, tetapi komitmen global. Dalam ekonomi yang semakin terhubung, kesenjangan digital di satu wilayah akan mempengaruhi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi global.
Perayaan Girls in ICT Day 2025 Indonesia bukan sekadar acara seremonial. Ini adalah panggilan untuk bertindak—gerakan kolektif untuk membangun masa depan digital yang inklusif, manusiawi, dan dipimpin oleh perempuan yang berdaya. Dengan kolaborasi antara pemerintah, lembaga internasional, dan sektor swasta, impian untuk menciptakan dunia digital tanpa diskriminasi semakin dekat menjadi kenyataan.
Masa depan teknologi memang dimulai dari perempuan. Bukan sebagai pelengkap, tetapi sebagai katalisator perubahan yang akan menggerakkan roda ekonomi global menuju pertumbuhan yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Ketika setiap perempuan diberi kesempatan untuk bersinar, seluruh dunia akan merasakan dampak positifnya.