Technologue.id, Jakarta – Selebriti media sosial alias influencer seakan kehilangan kekuatan mereka. Brand sepertinya mulai melirik potensi pada pelanggan dan karyawan mereka, bukan kepada artis tenar dari kalangan papan atas. Data statistik terbaru membuktikannya. "Bintang" tak hanya datang dari kaum selebriti saja, kini influencer juga bisa disebut bintang karena memiliki penggemarnya sendiri. Influencer biasa datang dari dunia Instagram, blogger, atau Youtuber yang kemudian menjadi bintang internet. Tak heran jika kini influencer dipercaya oleh beragam brand untuk mengiklankan produk mereka. Namun, apakah kehadiran influencer saat ini mampu memenuhi ekpektasi perusahaan yang mempekerjakannya?
Baca juga:
Anda Sekarang Bisa Simpan Data Pribadi di Telegram, Amankah?
Melansir ZDNet.com (27/07/2018), The 2018 Sprout Social Index menunjukkan bahwa hampir separuh (46 persen) marketer percaya bahwa penggunaan influencer sangat penting. Akan tetapi, kurang dari satu dari lima (19 persen) yang benar-benar memiliki budget untuk menggaet influencer. Di sisi lain, hampir dua pertiga (61 persen) dari konsumen mengatakan mereka lebih mungkin untuk mencari tahu produk atau layanan yang direkomendasikan oleh temannya dibandingkan dengan yang direkomendasikan dari influencer atau selebriti (36 persen atau satu banding tiga). Platform marketing influencer yang berbasis di Jerman, InfluencerDB, memperkirakan bahwa satu dari empat posting bersponsor yang diunggah oleh influencer perlu dipertanyakan. Pasalnya, kini tak sedikit bermunculan influencer palsu. Kenapa disebut influencer palsu? Karena ternyata pengikut akun mereka juga palsu atau bahkan tidak aktif. Mirisnya, sejumlah brand rela menguras dana hingga US$500 juta per tahun (Rp7 triliunan) untuk merekrut influencer palsu. InfluencerDB pun mendokumentasikan perubahan followers harian dengan membuat basis data historis dari pengikut influencer. Terungkap, pengikut palsu cenderung datang dalam batch dan dibuat dalam jangka waktu tertentu di seluruh pertumbuhan akun influencer.Baca juga:
Batal Kembangkan Drone Penyedia Internet, Facebook Bikin Satelit
Salah satu contoh influencer yang populer, Natalie Off Duty, yang baru-baru ini melakukan promosi dengan beberapa brand fashion besar, disinyalir mengalami perubahan besar jumlah follower dalam semalam. Pola-pola ini sering kita temui dengan pembelian followers di media sosial. Tidak heran bila sejumlah brand tidak lagi percaya pada influencer, karena metode pemasaran melalui mereka dirasa tidak efektif. [caption id="attachment_36311" align="alignnone" width="744"] Fake follower (Source: sproutsocial.com)[/caption] [caption id="attachment_36312" align="alignnone" width="488"] Kenaikan jumlah pengikut saat ada campaign iklan (Source: sproutsocial.com)[/caption]Baca juga:
Menonjolkan orang terkenal untuk meningkatkan brand awareness dan engangement memang masih penting. Namun tampaknya, ada revolusi yang sedang terjadi di dunia influencer selebriti. Konsumen ingin melihat postingan yang autentik dan independen dari teman, bukan dari influencer dan selebriti. Sedikit saja netizen yang mengonsumsi konten dari influencer dan selebriti di berbagai platform – antara 1 hingga 11 persen saja, menurut laporan itu. Mereka cenderung menggunakan media sosial untuk belajar mengenali produk dan mendapatkan inspirasi, tidak harus membeli. Sebagai alternatif, sudah ada brand yang melibatkan karyawannya untuk melakukan kampanye promosi. Karyawan sering menjadi penggemar terbesar brand dan akan menyampaikan pesan promosi dengan cara yang lebih efisien biaya. Brand kadang menggunakan karyawan mereka sendiri dalam campaign iklan – seperti kesuksesan Blendtec yang fenomenal, melalui serangkaian video YouTube: Will It Blend?. Menurut laporan itu, lebih dari 70 persen pemasar brand menggunakan karyawan mereka sebagai pemberi pengaruh atau pendukung hari ini, atau di masa depan. Menurut Anda pribadi, apakah benar influencer media sosial sudah "mati"?