
Bayangkan seorang filsuf yang selama puluhan tahun karyanya hanya dibaca dalam bahasa aslinya, tiba-tiba terjemahannya hadir dan langsung menggetarkan dunia. Itulah yang sedang terjadi di jagat perfilman Amerika Serikat dengan kedatangan—yang boleh dibilang—sang maestro kritikus film Jepang, Shiguéhiko Hasumi. Di usia 89 tahun, pemikir yang dianggap sebagai sarjana film terbesar Jepang yang masih hidup ini akhirnya melakukan apa yang bisa disebut sebagai debut resminya di Amerika.
Selama beberapa dekade, tulisan-tulisan Hasumi memiliki status bak piala suci di kalangan pembuat film dan sineas Barat, namun tetap tak terjangkau karena belum diterjemahkan. Wacana tentang sinema Jepang di Barat—khususnya era pascaperang yang gemilang—selama ini didominasi oleh suara kritikus Barat seperti Paul Schrader, Donald Richie, dan David Bordwell. Perspektif dari dalam negeri Jepang sendiri hampir tak terdengar. Tiba-tiba, dengan terbitnya terjemahan bahasa Inggris buku landmark Hasumi, "Directed by Yasujiro Ozu," oleh University of California Press, ditambah dengan seri screening kuratorial pribadinya di New York, terjadi perkenalan yang terlambat namun signifikan dari suara Hasumi ke dalam diskursus film AS.
Momen bersejarah ini diwujudkan melalui program "Shiguéhiko Hasumi: Another History of the Movie in America and Japan" yang akan diselenggarakan Japan Society New York pada 9-18 Oktober mendatang. Acara ini bukan sekadar pemutaran film biasa, melainkan sebuah demonstrasi hidup dari metode berpikir Hasumi yang telah merevolusi studi film di Jepang. Sebuah rebalansing yang sudah lama ditunggu akhirnya dimulai.
Revolusi Pemikiran dari Rikkyo UniversityKarier panjang Hasumi sebagai kritikus dan teoris film dimulai dengan serangkaian kuliah rigor yang legendaris di Rikkyo University, Tokyo, pada tahun 1970-an. Kuliah-kuliah inilah yang dikreditkan telah merevolusi beasiswa sinema di Jepang. Beberapa murid awalnya kemudian menjadi beberapa sineas indie paling terkemuka Jepang, seperti Kiyoshi Kurosawa dan Shinji Aoyama.
Pengaruhnya terus berlanjut melalui generasi, dengan bahkan pemenang Oscar terbaru Jepang, Ryusuke Hamaguchi ("Drive My Car"), mengidentifikasi dirinya sebagai murid Hasumi. Pernyataan Hamaguchi tentang gurunya cukup menggambarkan betapa mendalamnya pengaruh Hasumi: "Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa Hasumi, dalam satu arti, menciptakan sinema Jepang kontemporer, terutama sejak runtuhnya sistem studio."
Karier panjang Hasumi—yang juga mencakup beasiswa sastra berpengaruh dan masa jabatan sebagai presiden University of Tokyo, institusi akademik terkemuka Jepang—telah menjembatani hubungan dengan beberapa auteur internasional paling berpengaruh abad ke-20, termasuk Jean-Luc Godard, Pedro Costa, dan Wim Wenders. Jejak intelektualnya benar-benar melampaui batas-batas geografis dan disipliner.
Baca Juga:
Untuk program New York-nya, Japan Society menawarkan Hasumi carte blanche—penghargaan langka yang sebelumnya hanya diberikan kepada tokoh-tokoh seperti Susan Sontag dan fotografer seni Hiroshi Sugimoto. Hasilnya adalah lineup yang menghancurkan batas-batas yang dipersepsikan antara sinema Amerika dan Jepang.
Program ini menempatkan "Collateral" karya Michael Mann berdampingan dengan fantasia yakuza deliran Seijun Suzuki "Tokyo Drifter," atau "The Boston Strangler" Richard Fleischer dalam dialog dengan "The Story of the Last Chrysanthemum" Kenji Mizoguchi. Film pendek yang jarang ditayangkan dari Kurosawa dan Aoyama duduk berdampingan dengan film bisu John Ford "Kentucky Pride."
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana film-film dari dua tradisi sinema yang berbeda bisa saling berbicara? Inilah yang ditawarkan Hasumi melalui kuratorialnya—sebuah percakapan transparan yang mengungkap hubungan-hubungan tak terduga antara karya-karya yang tampaknya tak berhubungan.
Generasi Baru Murid HasumiSho Miyake, pemenang Golden Leopard Locarno terbaru ("Small, Slow but Steady")—salah satu murid terbaru Hasumi—akan muncul selama akhir pekan penutupan untuk mempresentasikan drama tinju terobosannya dan mengambil bagian dalam diskusi gratis tentang ketertarikan seumur hidup Hasumi dengan Ford. Finale program ini akan mencakup pemutaran "John Ford and Throwing — Complete Edition," film montase yang disutradarai bersama Hasumi dan Miyake pada 2022.
Keterlibatan Miyake menunjukkan bagaimana pengaruh Hasumi terus hidup dan berevolusi melalui generasi-generasi baru pembuat film. Bagi para sinefil New York, seri ini seharusnya menawarkan bukan hanya pertemuan yang terlambat dengan seorang kritikus legendaris, tetapi demonstrasi hidup dari metodenya yang terus relevan.
Dalam dunia di mana konten digital semakin mendominasi, kehadiran fisik dalam bentuk screening kuratorial semacam ini justru menjadi semakin berharga. Sama seperti bagaimana pengalaman komunitas dalam gaming menciptakan nilai tambah yang tak tergantikan.
Lineup Pemutaran: Sebuah Perjalanan SinematikProgram screening yang dikurasi Hasumi menawarkan perjalanan sinematik yang kaya dan berlapis. Pada 9 Oktober, penonton akan menyaksikan "Collateral" (Mann, 2004) dan "Tokyo Drifter" (Suzuki, 1966)—dua film yang meski berasal dari konteks berbeda, sama-sama mengeksplorasi urban alienation dengan gaya visual yang khas.
Tanggal 10 Oktober menghadirkan "The Story of the Last Chrysanthemum" (Mizoguchi, 1939) yang masterpiece, disusul dengan film pendek "Beautiful New Bay Area Project" (Kurosawa, 2013) dan "Le Petit Chaperon rouge" (Aoyama, 2008). Hari berikutnya menampilkan "Wheel of Fortune and Fantasy" (Hamaguchi, 2021), "That Night's Wife" (Ozu, 1930) dengan iringan piano live, dan "Living on the River Agano" (Sato, 1992).
Minggu kedua program (16-18 Oktober) melanjutkan dengan film-film seperti "They Live by Night" (Ray, 1948), "The Boston Strangler" (Fleischer, 1968), "Small, Slow but Steady" (Miyake, 2022) dengan sesi tanya jawab, "Tsuruhachi and Tsurujiro" (Naruse, 1938), "Kentucky Pride" (Ford, 1925), dan "...All the Marbles" (Aldrich, 1981). Puncaknya adalah "On Hasumi and Ford: Talk & Screening" yang menampilkan "John Ford and Throwing — Complete Edition."
Dalam era di mana teknologi mobile semakin canggih, pengalaman menonton film di layar besar dengan kuratorial yang mendalam seperti ini justru menjadi semakin spesial. Sama seperti bagaimana perkembangan hardware mendorong pengalaman gaming yang lebih imersif.
Warisan yang Akhirnya Melintasi SamuderaKedatangan Hasumi ke panggung film Amerika melalui program Japan Society ini bukan sekadar acara budaya biasa. Ini adalah momen bersejarah yang menandai dimulainya percakapan baru tentang sinema Jepang—sebuah percakapan yang akhirnya melibatkan suara dari dalam.
Selama ini, pemahaman Barat tentang sutradara seperti Ozu sebagian besar dibentuk oleh perspektif eksternal. Dengan terbitnya "Directed by Yasujiro Ozu" dalam bahasa Inggris, pembaca dan penonton Amerika akhirnya bisa mengakses perspektif Hasumi yang mendalam dan kontekstual tentang master Jepang tersebut.
Bagi para pencinta film, akademisi, dan pembuat film di Amerika, program ini menawarkan kesempatan langka untuk tidak hanya menonton film-film pilihan Hasumi, tetapi juga memahami kerangka berpikir di balik pilihan tersebut. Ini adalah pendidikan sinematik yang diberikan langsung oleh salah satu pemikir film terpenting di dunia.
Pada akhirnya, debut Amerika Hasumi ini mungkin akan dikenang sebagai titik balik dalam studi film komparatif—momen di mana sebuah suara yang selama ini hanya bergema di Jepang akhirnya mendapatkan panggung global yang layak. Dan untuk komunitas film New York, ini adalah undangan untuk mengalami sejarah film melalui mata seorang maestro yang pandangannya telah membentuk beberapa generasi pembuat film Jepang.