Contact Information

Alamat: Komplek Rumah Susun Petamburan Blok 1 Lantai Dasar, Tanah Abang - Jakpus 10260

We're Available 24/ 7. Call Now.
3 Film Pendek SISI 2025: Potret Indonesia dari Mata Generasi Muda
SHARE:

Pernahkah Anda merasa bahwa Indonesia terlalu kompleks untuk dipahami hanya dari satu sudut pandang? Sebuah negeri dengan ribuan pulau, ratusan bahasa, dan warisan budaya yang tak terhitung jumlahnya—bagaimana mungkin kita bisa menangkap esensinya dalam satu narasi tunggal? Justru di situlah letak keindahannya: setiap sudut memiliki ceritanya sendiri, setiap generasi memiliki caranya sendiri untuk mencintai tanah air.

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, di mana algoritma media sosial seringkali menjebak kita dalam ruang gema yang sempit, muncul sebuah program yang justru merayakan kompleksitas Indonesia. Bukan melalui narasi-narasi besar yang monolitik, melainkan melalui lensa kamera para sineas muda yang berani melihat negeri ini dengan mata segar. Inilah "Secinta Itu Sama Indonesia" (SISI), program film pendek yang digagas MAXStream Studios dari Telkomsel.

Sebagai kelanjutan dari program sebelumnya yang sukses, "Secinta Itu Sama Sinema" (SISS), SISI 2025 menghadirkan tiga karya terpilih yang akan ditayangkan perdana di panggung bergengsi Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2025. Ketiga film ini bukan sekadar karya sinematik biasa—mereka adalah cermin zaman, refleksi kritis, dan sekaligus bukti bahwa cinta terhadap Indonesia bisa diekspresikan dalam beragam bentuk: dari satire sosial hingga eksplorasi budaya yang mendalam.

Tiga film pendek SISI 2025 Secinta Itu Sama Indonesia MAXStream Studios
Karya sineas muda Indonesia dalam program Secinta Itu Sama Indonesia (SISI) 2025

Proses seleksi SISI 2025 bukanlah jalan mudah. Dari ratusan proposal yang masuk, hanya tiga yang berhasil menyisihkan pesaingnya. Kriteria penilaiannya ketat: kekuatan cerita, kedalaman karakter, dan yang paling penting—keunikan perspektif dalam memotret Indonesia. Ketiga film terpilih ini membuktikan bahwa sineas muda Indonesia tidak takut untuk berbicara tentang isu-isu kompleks dengan bahasa visual yang segar dan berani.

Program seperti SISI ini sejalan dengan perkembangan industri film pendek Indonesia yang semakin matang. Sebelumnya, platform kreatif seperti Tribe juga telah menghadirkan film pendek besutan sutradara top Indonesia, menunjukkan bahwa ekosistem untuk karya-karya pendek semakin berkembang.

Hanya Ada Kedamaian di Balik Jendela Rumahku: Satire Sosial yang Menggelitik

Disutradarai oleh Ayesha Alma Almera, "Hanya Ada Kedamaian di Balik Jendela Rumahku" menghadirkan drama satire tentang Dunya, seorang penghuni kontrakan yang terjebak dalam situasi absurd. Cerita dimulai dari masalah sederhana: bau pesing akibat lomba burung yang mengganggu kenyamanannya. Daripada menghadapi masalah secara langsung, Dunya memilih solusi instan dengan membuat sesajen palsu.

Namun, yang terjadi justru di luar kendali. Jendelanya yang awalnya biasa-biasa saja tiba-tiba dianggap keramat oleh warga sekitar. Dari sini, film ini berkembang menjadi komentar sosial yang tajam tentang bagaimana masyarakat kita seringkali menciptakan mitos dan kepercayaan dari hal-hal yang sebenarnya biasa. Kedatangan seorang perempuan yang mencari anaknya semakin memperumit situasi, mengubah satire sosial menjadi misteri gelap yang mempertanyakan batas antara realitas dan takhayul.

Yuck and Yum!: Kolonialisme Modern dalam Dunia Kuliner

Kurnia Alexander menghadirkan "Yuck and Yum!"—sebuah film yang mengangkat tema identitas dan kolonialisme modern dengan setting yang tak terduga: dunia konten kuliner. Cerita mengikuti Ayu, buruh Jawa yang dipasangkan dengan aktris Indo-Belanda untuk membuat konten kuliner Indonesia-Belanda. Di permukaan, kolaborasi ini terlihat harmonis dan menarik. Namun di baliknya, tersimpan microaggression yang terus menumpuk.

Film ini dengan cerdas menggunakan metafora kuliner untuk membahas hubungan kekuasaan yang tidak setara. Setiap komentar, setiap pandangan, dan setiap interaksi antara kedua karakter utama perlahan-lahan membangun ketegangan yang akhirnya meledak menjadi momen reclaim narasi yang powerful. "Yuck and Yum!" bukan sekadar film tentang makanan—ini adalah film tentang siapa yang berhak bercerita, dan siapa yang akhirnya menentukan "rasa" dari sebuah budaya.

The Lost Forest: Ritual Kedewasaan di Tengah Kerusakan Alam

Mizam Fadilah Ananda membawa kita ke hutan karst Kalimantan melalui "The Lost Forest". Film ini mengisahkan perjalanan Uli, anak berusia 7 tahun yang menjalani ritual kedewasaan seorang diri di hutan. Keyakinannya pada dongeng leluhur yang diajarkan turun-temurun perlahan-lahan terguncang ketika dia menyaksikan langsung kerusakan hutan dan "roh baru" berupa mesin pemotong kayu.

Yang menarik dari film ini adalah bagaimana ia mengeksplorasi konflik antara tradisi dan modernitas tanpa jatuh ke dalam dikotomi hitam-putih. Uli tidak hanya berhadapan dengan kerusakan lingkungan, tetapi juga dengan krisis keyakinan—apakah cerita-cerita leluhurnya masih relevan di dunia yang berubah cepat? Film ini menjadi allegory yang powerful tentang transisi yang dialami banyak komunitas adat di Indonesia.

JAFF 2025: Panggung Bergengsi untuk Karya Segar Indonesia

Ketiga film SISI 2025 ini akan ditayangkan perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2025, festival film bergengsi yang tahun ini mengusung tema "Transfiguration". Festival yang berlangsung dari 29 November hingga 6 Desember 2025 ini menghadirkan 227 film dari 43 negara, menjadikannya salah satu event sinema terpenting di Asia.

Kehadiran ketiga film SISI di JAFF bukanlah kebetulan. Festival ini telah lama dikenal sebagai ruang penting bagi karya-karya Asia, termasuk sineas Indonesia. Menurut Aco Tenriyagelli, Sutradara & Juri SISI 2025, ketiga karya terpilih ini membuktikan bahwa Indonesia tidak pernah kehabisan cerita. Yang dibutuhkan hanyalah platform yang tepat untuk menyuarakannya.

Dukungan terhadap ekosistem kreatif seperti ini sejalan dengan perkembangan infrastruktur digital Indonesia. Seperti yang terlihat dalam ekspansi jaringan nirkabel yang masif, akses terhadap konten berkualitas semakin terbuka lebar.

MAXStream Studios: Konsisten Lahirkan Sineas Baru

MAXStream Studios bukanlah pemain baru dalam mendukung film pendek Indonesia. Melalui program tahun sebelumnya, Secinta Itu Sama Sinema (SISS), beberapa karya berhasil menembus festival film kelas dunia seperti Berlinale, Raindance Film Festival, Kyoto International Children's Film Festival, Calgary International Film Festival, hingga Dili International Film Festival.

General Manager Digital Content Creation and Community Telkomsel, Anto M. C. Sihombing, menegaskan bahwa program ini merupakan ruang bagi sineas muda untuk menghadirkan cerita otentik Indonesia dalam bahasa visual yang lebih segar. "Secinta Itu Sama Indonesia adalah ruang dialog kreatif para sineas muda di Tanah Air," ujarnya.

Komitmen terhadap pengembangan konten lokal ini juga terlihat dalam kolaborasi-kolaborasi strategis lainnya di industri digital, seperti kolaborasi MODENA dan Indosat untuk membangun fondasi smart living Indonesia.

Dengan ratusan proposal yang masuk setiap tahun, MAXStream membuktikan bahwa industri film pendek Indonesia terus berkembang. Dan melalui SISI, semakin banyak karya yang tidak hanya sekadar tayang, tetapi benar-benar menginspirasi dan memicu percakapan. Bagi pecinta film Indonesia, SISI 2025 menjadi program yang patut ditunggu—bukan hanya untuk menyaksikan karya baru, tetapi juga untuk melihat arah visi sinema generasi berikutnya.

Ikuti perjalanan lengkap SISI 2025 di JAFF dan nantikan penayangannya di maxstream.tv. Siapa tahu, mungkin salah satu dari ketiga sineas muda ini akan menjadi nama besar berikutnya yang mengharumkan Indonesia di panggung dunia.

SHARE:

Jelang Akhir Tahun, Operator Selular Ini PHK 13.000 Karyawan

Vivo Vision Discovery Edition Resmi Dirilis di Indonesia