
Pernahkah Anda membayangkan dunia di mana teknologi justru membuat pekerjaan Anda lebih sulit? Sementara para pekerja kantoran mulai merasakan dampak langsung artificial intelligence, para pekerja kerah biru—tukang las, montir, tukang listrik—masih menunggu dengan penuh tanda tanya. Di tengah hiruk-pikuk revolusi AI, nasib mereka justru berada di persimpangan jalan yang paling menentukan.
Lanskap ekonomi global sedang mengalami transformasi dramatis. Sektor pekerjaan kerah putih tingkat pemula sudah merasakan guncangan AI, dengan otomatisasi mulai mengambil alih tugas-tugas administratif dan analitis. Namun, di sisi lain spektrum, ekonomi esensial—yang mencakup manufaktur, perdagangan terampil, dan infrastruktur—masih mencari petunjuk tentang bagaimana teknologi ini akan membentuk masa depan mereka.
Jim Farley, CEO Ford Motor Company, memberikan perspektif mengejutkan dalam wawancara eksklusif dengan Bloomberg TV's Wall Street Week. Pemimpin salah satu perusahaan otomotif terbesar dunia ini mengungkapkan dilema mendalam tentang masa depan pekerja kerah biru di era AI, mengungkap realitas yang mungkin tidak pernah kita duga.
Harapan dan Ketidakpastian di Balik AI untuk Pekerja Esensial"Saya berharap AI akan menjadi bantuan, tapi sulit untuk mengatakan itu hari ini," ujar Farley dengan nada yang terdengar hati-hati. Pernyataan ini datang dari seorang CEO yang memimpin perusahaan dengan sejarah panjang dalam industri padat karya. Kekhawatiran Farley bukan tanpa alasan—ia mengingatkan kita pada pelajaran dari gelombang otomasi sebelumnya yang justru mengurangi lapangan kerja di ekonomi esensial.
Farley dengan tegas menyoroti ironi dalam produktivitas selama dua dekade terakhir. "Faktanya, produktivitas dalam ekonomi esensial justru menurun selama 20 tahun terakhir, sementara produktivitas pekerja kerah putih meningkat," paparnya. Data dari St. Louis Fed mengonfirmasi pernyataan ini dengan angka yang cukup mengejutkan: hanya 4% jam kerja pekerja kerah biru yang dihabiskan menggunakan AI, yang menghemat 1% pekerjaan mereka. Bandingkan dengan pekerja komputer dan matematika, di mana 11.7% jam kerja mereka menggunakan AI mampu menghemat 2.5% pekerjaan.
Baca Juga:
Di tengah ketidakpastian, ada secercah harapan dari investasi besar-besaran dalam pembangunan data center AI dan jalur transmisi. Farley menyebut ini sebagai "angin sepoi-sepoi" untuk ekonomi esensial karena pembangunan infrastruktur ini akan membutuhkan dukungan dari pekerja konstruksi, tukang ledeng, tukang listrik, dan pekerja kerah biru lainnya.
Laporan terbaru dari ALFA Institute memperkuat optimisme ini. Investasi $100 miliar dalam data center AI berpotensi menciptakan hingga setengah juta pekerjaan di AS selama lima tahun ke depan, mencakup konstruksi, manufaktur, transportasi, dan real estat. Ini adalah angka yang tidak bisa dianggap remeh, terutama dalam konteks penciptaan lapangan kerja berkelanjutan.
Namun, optimisme ini dibayangi oleh tantangan yang justru semakin kompleks. Program kesejahteraan finansial pekerja seperti yang diusung Wagely menjadi semakin relevan mengingat transformasi struktural yang mungkin terjadi dalam pasar tenaga kerja kerah biru.
Paradoks Keterampilan: Ketika Teknologi Maju tapi Tenaga Ahli MenipisDi sinilah paradoks terbesar muncul. Farley mengungkapkan kekhawatiran mendalam tentang kelangkaan pekerja terampil yang mampu membangun data center AI dan mengoperasikan pabrik-pabrik modern. "Ironi dari ironi adalah, kita punya semua data center ini, semua teknologi baru yang harus diimplementasikan, dan tetap membutuhkan tukang listrik, pekerja konstruksi... dan kita mengalami kekurangan yang sangat besar," katanya dengan nada frustrasi.
Menurut perhitungan Farley, kesenjangan ini mencapai sekitar satu juta pekerja. Bayangkan: di era di mana teknologi seharusnya memudahkan segala sesuatu, kita justru kekurangan tenaga terampil untuk membangun infrastruktur teknologi itu sendiri. Ini seperti memiliki resep masakan terbaik di dunia tapi tidak memiliki koki yang bisa memasaknya.
Fenomena ini juga terlihat dalam perkembangan platform kerja sampingan yang mengalami peningkatan signifikan, mengindikasikan kebutuhan akan fleksibilitas kerja di kalangan pekerja.
Pelajaran dari Masa Lalu: Ketika Inovasi Justru Mengurangi Lapangan KerjaFarley tidak ragu mengingatkan kita pada sejarah yang pahit. "Inovasi-inovasi sebelumnya benar-benar mengambil pekerjaan dari pasar tenaga kerja dan dari ekonomi esensial," ujarnya sambil merujuk pada contoh otomatisasi. Pernyataan ini datang dari pemimpin perusahaan yang telah menyaksikan langsung bagaimana teknologi dapat mengubah lanskap ketenagakerjaan secara drastis.
Pengalaman Ford dengan otomatisasi di lini produksi memberikan pelajaran berharga. Meskipun efisiensi meningkat, dampak terhadap tenaga kerja seringkali kompleks dan tidak selalu positif. Transformasi digital dalam layanan teknisi seperti yang dilakukan Seekmi menunjukkan bagaimana kolaborasi antara platform digital dan pekerja terampil dapat menciptakan model bisnis yang berkelanjutan.
Pertanyaannya sekarang: apakah AI akan mengulangi kesalahan yang sama, ataukah kita telah belajar cukup dari sejarah untuk menciptakan masa depan yang lebih inklusif untuk pekerja kerah biru?
Masa Depan yang Belum Tertulis: Antara Peluang dan TantanganNarasi yang berkembang tentang AI dan masa depan pekerjaan kerap terpolarisasi—antara yang melihatnya sebagai penyelamat dan yang menganggapnya sebagai ancaman. Namun, pandangan Farley justru berada di area abu-abu yang lebih realistis. AI untuk pekerja kerah biru bukanlah soal penggantian pekerjaan, melainkan transformasi pekerjaan.
Potensi AI dalam meningkatkan keselamatan pekerja konstruksi, mengoptimalkan perawatan peralatan manufaktur, atau menyederhanakan proses instalasi listrik sangat besar. Namun, realisasi potensi ini bergantung pada faktor-faktor yang sering terabaikan: pelatihan ulang yang komprehensif, investasi dalam pendidikan vokasi, dan kolaborasi antara sektor swasta dengan institusi pendidikan.
Ketika prediksi superintelligence AI semakin mendekati kenyataan, pertanyaan tentang masa depan pekerja kerah biru menjadi semakin mendesak. Apakah mereka akan tertinggal dalam revolusi ini, atau justru menjadi tulang punggung dari infrastruktur digital masa depan?
Jawabannya, seperti yang diungkapkan Farley, masih belum jelas. Yang pasti, nasib jutaan pekerja kerah biru tidak boleh hanya menjadi bahan perdebatan teoritis di ruang board meeting, tetapi harus menjadi prioritas dalam perencanaan strategis setiap perusahaan yang peduli pada keberlanjutan dan inklusivitas. Masa depan kerja bukan hanya tentang teknologi yang canggih, tetapi tentang manusia yang mengoperasikannya—dan untuk ekonomi esensial, manusia-manusia itu adalah pekerja kerah biru yang selama ini menjadi tulang punggung industri global.