Contact Information

Alamat: Komplek Rumah Susun Petamburan Blok 1 Lantai Dasar, Tanah Abang - Jakpus 10260

We're Available 24/ 7. Call Now.
AI di Kantor Masih Eksperimen, Karyawan Butuh Skill Baru
SHARE:

Pernahkah Anda merasa perusahaan tempat Anda bekerja sudah sangat canggih dengan AI, tapi ternyata implementasinya masih sebatas uji coba di beberapa divisi saja? Sebuah laporan mengejutkan dari McKinsey & Company tahun 2025 mengungkap fakta yang mungkin membuat banyak eksekutif merenung: sekitar dua pertiga perusahaan masih berada di fase eksperimen dengan AI dan belum menerapkannya secara luas.

Fenomena ini bukan sekadar masalah teknologi atau anggaran. Di balik angka-angka statistik tersebut, tersembunyi sebuah realitas yang lebih dalam tentang bagaimana organisasi modern berjuang untuk beradaptasi dengan revolusi kecerdasan buatan. Padahal, investasi dalam teknologi AI terus mengalir deras, namun hasil yang diharapkan seringkali tidak sebanding.

Yang menarik, solusinya justru tidak terletak pada teknologi itu sendiri. Para pakar industri bersepakat bahwa kunci keberhasilan integrasi AI di tempat kerja adalah pendekatan yang berpusat pada manusia. Inilah paradoks modern: di era yang didominasi mesin, justru faktor manusia yang menjadi penentu kesuksesan.

Literasi AI: Fondasi yang Terabaikan

Rowena Yeo, CTO dan Wakil Presiden Layanan Teknologi di Johnson & Johnson, dengan tegas menyatakan pentingnya literasi AI dalam organisasi. "Jika Anda memiliki alat dan orang-orang tidak tahu cara menggunakannya, hasilnya akan suboptimal. Untuk memperkenalkan organisasi pada apa yang dapat dilakukan AI, literasi AI adalah fundamental," ujarnya dalam dialog Fortune tentang AI generatif di tempat kerja pada 13 November.

Pernyataan Yeo ini menggarisbawahi sebuah kesenjangan yang sering diabaikan perusahaan. Banyak organisasi terburu-buru membeli teknologi AI tercanggih, namun lupa bahwa teknologi hanyalah alat. Nilai sebenarnya terletak pada bagaimana manusia memanfaatkan alat tersebut. Pendekatan AI generatif yang berpusat pada manusia terbukti mampu mendorong nilai ekonomi yang signifikan, namun implementasinya masih terhambat oleh kurangnya pemahaman mendasar.

Gastón Carrión, Managing Director dan APAC Lead of Talent and Organization untuk Accenture, menambahkan perspektif yang lebih mengkhawatirkan. "Ada nafsu yang jelas dari orang-orang untuk belajar, tapi yang tidak banyak kita lihat adalah perusahaan berinvestasi untuk beralih dari kemahiran AI ke adopsi," katanya. Komentar ini mengungkap jurang antara keinginan belajar karyawan dan komitmen perusahaan untuk benar-benar mengintegrasikan AI ke dalam operasional sehari-hari.

Investasi Manusia: Rasio 1:3 yang Terlupakan

Carrión memberikan formula investasi yang mungkin membuat banyak CFO terkejut: "Untuk setiap dolar yang kita habiskan untuk teknologi, kita harus menghabiskan tiga dolar lagi untuk orang, untuk membantu mereka bertransisi ke masa depan." Rasio 1:3 ini menyoroti ketimpangan investasi yang terjadi di banyak perusahaan.

Johnson & Johnson telah mempraktikkan prinsip ini dengan meluncurkan kursus fundamental AI yang telah diselesaikan oleh sekitar 89.000 karyawan global. Yeo menjelaskan bahwa perusahaan juga menyediakan kelas master lainnya yang disesuaikan dengan berbagai persona dalam organisasi. Pendekatan bertahap ini menunjukkan bahwa AI yang berpusat pada manusia bukan hanya konsep filosofis, melainkan strategi bisnis yang konkret.

Yang lebih menarik, J&J tidak hanya berhenti pada pelatihan umum. Perusahaan telah menemukan penggunaan khusus domain untuk teknologi ini, seperti dalam penemuan obat. Lengan obat inovatif perusahaan yang diperkirakan akan menghasilkan penjualan lebih dari $57 miliar pada tahun 2025 menggunakan AI untuk mengidentifikasi target obat baru dan merancang molekul yang lebih baik.

AI untuk Produktivitas: Kisah Sukses Standard Chartered

Bank ritel Standard Chartered memberikan contoh nyata bagaimana AI dapat meningkatkan produktivitas dalam proses back-end. Bank tersebut sekarang memungkinkan supervisor menggunakan AI generatif untuk menyusun ulasan kinerja akhir tahun. Inisiatif ini bukan hanya tentang efisiensi, tetapi juga tentang menciptakan budaya eksperimen yang aman.

Will Brown, Head of Human Resources di Standard Chartered, menjelaskan bahwa mempiloti teknologi dari dalam organisasi membantu menciptakan sandbox yang aman untuk eksperimen. "Ini juga berfungsi sebagai tes lakmus untuk mengukur bagaimana perasaan karyawan tentang adopsi AI di perusahaan," tambahnya.

Yang menarik, implementasi ini justru memicu dialog terbuka tentang bagaimana karyawan merasa tentang atasan mereka menulis ringkasan kinerja dengan dukungan AI generatif. Transparansi ini justru menjadi katalis untuk penerimaan yang lebih besar terhadap teknologi baru.

Pasar Talen Berbasis AI: Ekonomi Gig Internal

Standard Chartered tidak berhenti di situ. Bank tersebut juga telah meluncurkan pasar talenta berbasis AI, di mana pekerja dapat mengunggah keterampilan yang mereka miliki dan ingin pelajari, sementara manajer dapat memposting panggilan terbuka untuk proyek yang membutuhkan pekerja dengan set keterampilan tertentu.

Brown menggambarkan ini sebagai penciptaan "ekonomi berbasis gig" dalam organisasi, yang memungkinkan keterampilan mengalir lebih cepat di seluruh perusahaan. Pendekatan ini mengubah paradigma tradisional tentang pengembangan karir dan mobilitas internal, sekaligus memanfaatkan AI untuk mencocokkan talenta dengan peluang yang tepat.

Rollout AI yang Bijaksana: Belajar dari 15% yang Berhasil

Setelah bereksperimen dengan berbagai use case untuk AI, perusahaan harus fokus pada beberapa use case dan meningkatkan penggunaannya. Yeo mengungkapkan pelajaran berharga dari pengalaman J&J: setelah "menumbuhkan seribu bunga di seluruh organisasi," perusahaan menemukan bahwa hanya 15% use case AI yang mendorong 90% nilainya.

Temuan ini sejalan dengan peringatan dari akademisi seperti Connie Zheng, Associate Professor di University of South Australia, yang mengingatkan terhadap rollout AI yang tidak selektif di seluruh organisasi. Zheng menekankan bahwa manajer perlu terlebih dahulu mengevaluasi utilitas AI. Jika tidak diluncurkan dengan bijaksana, AI justru dapat meningkatkan "techno-stress" dan memperburuk kesejahteraan karyawan.

Zheng memberikan contoh konkret tentang ulasan kinerja akhir tahun, yang menurutnya harus tetap menjadi tanggung jawab utama manusia. "Karyawan, terutama Gen Z, menyukai umpan balik dari manajer. Untuk menghargai dan mempromosikan pekerja, supervisor perlu menjadi otentik dan conversational—dan saya tidak berpikir AI dapat melakukan itu," tegasnya.

Peringatan Zheng ini mengingatkan kita bahwa di balik efisiensi yang ditawarkan AI, unsur manusiawi dalam kepemimpinan dan manajemen tidak boleh tergantikan. Teknologi AI generatif memang bisa membuat pusing, tetapi solusinya bukan dengan menghindarinya, melainkan dengan mengintegrasikannya secara bijaksana.

Revolusi AI di tempat kerja masih dalam tahap awal, dan jalan menuju adopsi penuh masih panjang. Namun, pelajaran dari perusahaan-perusahaan pionir seperti Johnson & Johnson dan Standard Chartered menunjukkan bahwa kunci suksesnya terletak pada keseimbangan yang tepat antara teknologi dan manusia. Investasi dalam peningkatan keterampilan karyawan, pendekatan bertahap, dan kepekaan terhadap dampak sosial dari teknologi AI akan menentukan apakah organisasi mampu bertransformasi menjadi perusahaan yang benar-benar cerdas di era digital.

SHARE:

Jelang Akhir Tahun, Operator Selular Ini PHK 13.000 Karyawan

Vivo Vision Discovery Edition Resmi Dirilis di Indonesia