
Technologue.id, Jakarta - CEO Apple Tim Cook kembali jadi sasaran kritik tajam dari Istana Negara Amerika Serikat. Peter Navarro, penasihat dagang era Trump, menyebut lambatnya Apple memindahkan produksi iPhone dari China sebagai "opera sabun terpanjang di Silicon Valley".
Kritik ini mempertegas friksi lama antara tuntutan politik dalam negeri dan kenyataan logistik global Apple. Meski Apple telah mengalihkan sebagian produksinya ke India dan Vietnam, ritme perpindahan itu dianggap terlalu pelan.
Navarro mempertanyakan mengapa Apple belum memanfaatkan teknologi, AI, dan investasi besar untuk mendukung reshoring. Baginya, diversifikasi Apple tak lebih dari "gerak lambat yang mahal".
Pemerintah AS bahkan mengancam akan menerapkan tarif 25% untuk iPhone yang diproduksi di luar negeri, termasuk India. Dilansir laman Business Insider, ini adalah tekanan yang jelas agar Apple membawa kembali manufaktur ke dalam negeri. Tapi Wall Street melihat hal itu tidak realistis secara biaya dan efisiensi.
Menurut Morgan Stanley dan Bank of America, ketergantungan Apple terhadap China bukan tanpa alasan. Ekosistem manufaktur di sana sudah matang, mulai dari rantai pasok, tenaga kerja, sampai kualitas produksi. Biaya memindahkan semuanya ke AS bisa melonjak lebih dari 90% dibanding saat ini.
Di sisi lain, India mulai mendapat tempat sebagai alternatif strategis. Foxconn menanamkan investasi $1,5 miliar untuk membangun pabrik layar iPhone di Tamil Nadu. Dikutip dari Times of India, proyek ini diprediksi menyerap 14.000 pekerja, jadi sinyal bahwa Apple serius membesarkan footprint-nya di Asia Selatan.
Saat ini, India sudah menyumbang 18% dari total produksi iPhone global. Diperkirakan pada 2025, angkanya bisa menembus 32%. Tapi tetap saja, memindahkan produksi bukan cuma soal angka, melainkan juga soal kecepatan, kualitas, dan kontinuitas pasokan.
Apple juga menjanjikan komitmen investasi $500 miliar di AS dalam beberapa tahun ke depan. Fasilitas baru sedang dibangun di Houston dan Texas sebagai bentuk goodwill terhadap pemerintah. Namun pengamat menyebut ini masih jauh dari cukup untuk menyamai skala manufaktur Asia.
Kritik dari Navarro memang bernada politik, tetapi tidak sepenuhnya tanpa dasar. Dunia pasca-pandemi menunjukkan pentingnya ketahanan rantai pasok. Sayangnya, Apple tidak bisa buru-buru karena yang mereka kelola bukan hanya produk, tapi juga ekspektasi pasar global.
Di tengah tekanan politik dan tuntutan efisiensi, Apple bermain di dua kutub. Di satu sisi, mereka harus menunjukkan komitmen terhadap Amerika. Di sisi lain, mereka tak bisa sembarangan meninggalkan China yang selama ini jadi pilar utama produksi iPhone.