Contact Information

Alamat: Komplek Rumah Susun Petamburan Blok 1 Lantai Dasar, Tanah Abang - Jakpus 10260

We're Available 24/ 7. Call Now.
Figma CEO: AI Bukan Pengganti Desainer, Tapi Penghilang Tugas Membosankan
SHARE:

Bayangkan Anda seorang desainer grafis yang menghabiskan berjam-jam hanya untuk mengatur spasi, mengulang layout, atau mencari elemen visual yang tepat. Pekerjaan repetitif ini kerap menjadi "momok" dalam proses kreatif—membosankan, melelahkan, dan menyita waktu berharga. Di era di mana kecerdasan artifisial (AI) digadang-gadang akan mengambil alih banyak profesi, termasuk desain, muncul pertanyaan kritis: apakah masa depan desainer benar-benar terancam?

Figma, raksasa tools desain yang baru saja melakukan Initial Public Offering (IPO) spektakuler dengan saham melonjak tiga kali lipat dari harga penawaran, justru punya jawaban mengejutkan. Perusahaan yang berbasis di San Francisco ini tidak berniat menciptakan mesin yang menggantikan peran desainer manusia. Sebaliknya, mereka memposisikan AI sebagai partner yang menghilangkan "kepenatan" dalam proses desain.

Dalam wawancara eksklusif di podcast Rapid Response, Dylan Field, CEO Figma yang masih berusia 33 tahun dan telah menyandang status miliarder, memberikan perspektif segar tentang relasi manusia-mesin di dunia kreatif. Percakapannya dengan host Bob Safian mengungkap visi yang lebih manusiawi tentang masa kerja desainer di tengah gempuran teknologi.

AI Figma: Menurunkan Lantai dan Meninggikan Langit-Langit Kreativitas

Field dengan gamblang menjelaskan filosofi pengembangan AI di Figma. Tools kecerdasan buatan mereka dirancang untuk dua tujuan strategis: "menurunkan lantai" dan "meninggikan langit-langit". Konsep "menurunkan lantai" berarti mempermudah lebih banyak orang—bahkan yang latar belakangnya bukan desainer—untuk terlibat dalam proses desain. Sementara "meninggikan langit-langit" bermakna memberdayakan desainer profesional untuk mencapai hal-hal yang sebelumnya mustahil atau terlalu rumit.

"Pada akhirnya, kita semua sebagai manusia mengharapkan lebih banyak dari AI daripada yang kita harapkan dari manusia. Jika Anda berkata, 'Oke, ini prompt kecil untuk mengubah spasi dalam file saya,' Figma harus melakukannya dengan benar," tegas Field kepada Safian. Pernyataan ini menyiratkan standar tinggi yang ditetapkan Figma untuk AI mereka—bahkan perintah sekecil apa pun harus dieksekusi sempurna.

Field mengakui bahwa jika AI tidak mampu menjalankan perintah sederhana, pengguna akan dengan cepat meragukan kemampuannya. Namun, dia dengan tegas membatasi ekspektasi: "Saya tidak mengatakan bahwa kami harus melakukan pekerjaan desainer kelas dunia, karena kami tidak akan. Ada kebutuhan bagi desainer untuk memimpin, dan AI hanya akan membawa Anda sejauh ini."

Menghilangkan "Drudgery": Misi Kemanusiaan dalam Desain

Kata kunci yang terus diulang Field adalah "drudgery"—istilah bahasa Inggris untuk pekerjaan membosankan dan repetitif yang menguras energi kreatif. Baginya, tantangan terbesar bukanlah menciptakan AI yang bisa menggantikan desainer, tetapi mengembangkan teknologi yang mampu menghilangkan beban-beban monoton dari alur kerja desain.

"Tapi kepenatan, bagaimana kita menghilangkannya dari proses desain? Bagaimana kita memberi lebih banyak akses kepada lebih banyak orang?" tanya Field retoris. Pertanyaan ini menyentuh inti permasalahan yang dihadapi industri kreatif global: bagaimana memanfaatkan teknologi untuk membebaskan waktu dan mental space bagi pekerja kreatif agar bisa fokus pada aspek strategis dan inovatif.

Pendekatan Figma ini sejalan dengan tren di industri teknologi lainnya, di mana AI diposisikan sebagai enabler bukan replacer. Seperti halnya inovasi di dunia smartphone yang terus mendemokratisasi fotografi profesional—seperti yang dilakukan realme 12 Pro+ 5G dengan kamera periskopnya—tanpa menghilangkan peran fotografer profesional.

Bukti Empiris: Desainer Tetap Dibutuhkan di Era AI

Pernyataan Field bukan sekadar retorika. Figma mendukung posisinya dengan penelitian yang dilakukan Andrew Hogan, Kepala Insight perusahaan. Studi September yang dikutip Field dalam podcast tersebut mensurvei sekitar 1.200 partisipan—termasuk desainer, manajer produk, pengembang, peneliti, spesialis data, dan pemasar.

Temuan kunci penelitian ini signifikan: 53% responden menyatakan bahwa bahkan dengan kehadiran AI, pengetahuan mendalam tentang suatu subjek tetap diperlukan untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Angka ini mengonfirmasi bahwa keahlian manusia tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh algoritma, sekalipun yang paling canggih sekalipun.

Fenomena ini terlihat jelas di berbagai sektor teknologi. Realme 12 Series 5G yang baru diluncurkan di Indonesia, misalnya, mengandalkan kombinasi antara teknologi mutakhir dan keahlian desainer untuk menciptakan produk yang tidak hanya powerful tetapi juga estetis. Begitu pula dengan pendahulunya, Realme 11 Pro Series yang mengunggulkan kamera 200MP—teknologi tinggi tetap membutuhkan sentuhan manusia untuk menghasilkan karya terbaik.

Ekosistem yang Berpihak pada Kreator Manusia

Pandangan Field tentang AI dalam desain ternyata beresonansi dengan pemain besar lain di industri. Cliff Obrecht, co-founder Canva, menyampaikan sentimen serupa awal tahun ini dalam episode Juli podcast "Masters of Scale". Obrecht mengatakan tools AI Canva membebaskan waktu desainer untuk "pekerjaan bernilai tinggi," dan mengabaikan AI sebagai kreator adalah "kebodohan".

Kesamaan perspektif antara dua raksasa tools desain ini mengindikasikan arah industri yang lebih manusia-sentris. Alih-alih menciptakan kompetisi antara manusia dan mesin, ekosistem teknologi kreatif justru bergerak menuju simbiosis mutualisme—di mana AI menangani tugas-tugas teknis dan repetitif, sementara manusia fokus pada strategi, konsep, dan inovasi.

Pendekatan ini mirip dengan evolusi di industri chip, di mana NVIDIA bertransformasi dari pembuat kartu grafis menjadi pionir komputasi AI—teknologi berkembang untuk memperkuat, bukan menggantikan, kemampuan manusia.

Ketika Figma merayakan IPO sukses mereka dengan pesta blok di depan Bursa Saham New York—lengkap dengan pizza gratis, merchandise, dan DJ—yang dirayakan bukan hanya kesuksesan finansial, tetapi juga visi human-centered tentang masa depan desain. Di tengah euforia AI yang kadang mengarah pada distopia pengangguran massal, Figma dan Canva justru menawarkan narasi optimis: teknologi terbaik adalah yang memberdayakan manusia, bukan yang menggantikannya. Dan bagi miliaran pengguna tools desain di seluruh dunia, termasuk Anda yang mungkin sedang membaca artikel ini sambil membayangkan project desain berikutnya, itulah masa depan yang patut dinantikan.

SHARE:

Huawei Watch GT 6 & GT 6 Pro Siap Meluncur, Apa Saja Fiturnya?

Biznet Rayakan 25 Tahun dengan Akses Inklusif