
Bayangkan sebuah perusahaan teknologi yang produknya digunakan oleh jutaan orang, dari pembuat film indie hingga petani modern, tiba-tiba dituduh sebagai ancaman bagi keamanan nasional negara adidaya. Inilah realitas pahit yang sedang dihadapi DJI, raksasa drone asal Tiongkok. Setelah hampir satu tahun berjuang di pengadilan, harapan mereka untuk membersihkan nama pupus. Pada Jumat lalu, seorang hakim federal Amerika Serikat memutuskan mendukung Departemen Pertahanan (DoD) AS, memperkuat cap "perusahaan militer Tiongkok" yang melekat pada DJI.
Keputusan Hakim Distrik AS Paul Friedman ini bukanlah sekadar kekalahan hukum biasa. Ini adalah pukulan telak yang memperpanjang daftar panjang perseteruan DJI dengan pemerintah AS—perseteruan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun dan semakin memanas. Cap ini bukan sekadar label; ia memiliki konsekuensi nyata yang dapat membatasi akses perusahaan terhadap pendanaan, kontrak pemerintah, dan yang paling mengkhawatirkan, pasar terbesarnya.
Lantas, apa sebenarnya yang menjadi akar persoalan ini? Mengapa sebuah perusahaan yang dikenal dengan drone konsumennya dianggap sebagai bagian dari mesin perang? Narasi yang dibangun oleh pemerintah AS terhadap perusahaan teknologi Tiongkok bukanlah hal baru. Kita telah menyaksikan pola serupa dalam kasus-kasus lain, di mana alasan keamanan nasional menjadi senjata ampuh. Mari kita selami lebih dalam lika-liku kasus ini dan implikasinya yang jauh bagi masa depan DJI dan industri teknologi global.
Keputusan Hakim: Kebijakan DJI Tak Cukup Melawan Fakta Aplikasi MiliterDalam opininya, Hakim Paul Friedman menyatakan bahwa DoD telah menyajikan bukti yang cukup bahwa DJI berkontribusi pada militer Tiongkok. Poin kunci dalam pertimbangan hakim adalah pengakuan DJI sendiri. "Memang, DJI mengakui bahwa teknologinya dapat dan sedang digunakan dalam konflik militer, tetapi menegaskan bahwa kebijakannya melarang penggunaan seperti itu," tulis Friedman. Namun, bagi pengadilan, klaim kebijakan internal itu tidak relevan.
"Apakah kebijakan DJI melarang penggunaan militer atau tidak, itu tidak penting. Itu tidak mengubah fakta bahwa teknologi DJI memiliki aplikasi militer teoretis dan aktual yang substansial," lanjutnya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa fokusnya adalah pada potensi dan pemanfaatan teknologi itu sendiri, terlepas dari niat atau kontrol perusahaan. Pendekatan ini membuka preseden berbahaya bagi perusahaan teknologi mana pun yang produknya, secara tidak langsung atau tidak disengaja, dapat dimanfaatkan untuk tujuan militer.
DJI sendiri menggugat penunjukan tersebut pada Oktober 2024. Perusahaan itu bersikeras kepada pengadilan bahwa mereka "tidak dimiliki maupun dikendalikan oleh militer Tiongkok." Dalam berkas gugatannya, DJI mengklaim telah menderita "kerugian finansial dan reputasi yang berkelanjutan" sebagai akibat dari dimasukkannya mereka dalam daftar hitam tersebut. Penunjukan sebagai "Chinese military company" dapat mencegah perusahaan mengakses hibah, kontrak, pinjaman, dan program pemerintah AS lainnya, sebuah pukulan bagi operasi bisnis global mereka.
Riwayat Kelam DJI dengan Pemerintah AS: Dari Entity List hingga Ancaman EmbargoKekalahan di pengadilan ini hanyalah episode terbaru dalam hubungan yang sudah sangat bermasalah antara DJI dan Washington. Konflik ini berakar jauh lebih dalam. Pada tahun 2020, Departemen Perdagangan AS menambahkan DJI dan 77 perusahaan lainnya ke dalam "Entity List". Langkah ini secara efektif memblokir perusahaan-perusahaan AS untuk berurusan dengan mereka, membatasi akses terhadap teknologi dan komponen kunci dari AS.
Tidak berhenti di situ, setahun kemudian, Departemen Keuangan AS memasukkan DJI dalam daftar "perusahaan kompleks industri-militer Tiongkok". Penunjukan ini didasarkan pada dugaan keterlibatan DJI dalam pengawasan terhadap masyarakat Muslim Uighur di Xinjiang, Tiongkok—sebuah tuduhan yang selalu dibantah oleh DJI namun terus menjadi bagian dari narasi yang dibangun oleh pihak AS. Situasi ini mengingatkan kita pada tekanan serupa yang dihadapi oleh perusahaan teknologi Tiongkok lainnya. Seperti halnya ketika Xiaomi berani melawan pemerintah AS atau saat Xiaomi diblokir Trump, perang dagang dan teknologi seringkali menggunakan isu keamanan sebagai tameng.
Eskalasi terus berlanjut. Tahun lalu, bea cukai AS mulai menahan drone konsumen DJI di perbatasan. Ancaman terbesar kini menggantung: larangan impor secara penuh di AS yang berpotensi berlaku pada akhir tahun ini. Larangan ini awalnya dijadwalkan pada 2024, namun sebuah klausul dalam RUU Pertahanan AS senilai $895 miliar memberi DJI tenggat waktu satu tahun untuk membuktikan bahwa produknya tidak menimbulkan risiko keamanan nasional.
Upaya Terakhir DJI dan Masa Depan yang Suram di Pasar ASMenghadapi tenggat waktu yang semakin mepet, DJI tampaknya berusaha melakukan segala cara. Pada Maret lalu, perusahaan itu memohon kepada lima badan keamanan nasional AS—Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS), DoD, FBI, Badan Keamanan Nasional (NSA), dan Kantor Direktur Intelijen Nasional (ODNI)—untuk segera memulai evaluasi terhadap produk-produknya. Permohonan "segera" ini mencerminkan kepanikan dan tekanan besar yang dirasakan oleh DJI. Mereka ingin membuktikan integritas dan keamanan teknologi mereka sebelum keputusan final diambil.
Namun, dengan keputusan pengadilan yang baru saja mengukuhkan posisi DoD, apakah permohonan ini akan didengar? Atau justru semakin memperkuat posisi pihak AS yang melihat DJI dengan kecurigaan tinggi? Kekalahan hukum ini bisa menjadi paku terakhir pada peti mati operasi DJI di Amerika Serikat. Larangan impor akan secara efektif memotong akses DJI ke salah satu pasar consumer electronics terbesar di dunia, sebuah kerugian yang hampir mustahil untuk digantikan.
Pertanyaannya, apakah ini murni tentang keamanan nasional, atau ada agenda geopolitik dan ekonomi yang lebih besar di baliknya? Ketika kita melihat pola yang terjadi, mulai dari penghentian pasokan chip ke Rusia oleh Intel dan AMD hingga berbagai sanksi terhadap perusahaan Tiongkok, tampaknya dunia teknologi semakin terfragmentasi oleh kepentingan nasional. DJI mungkin hanyalah salah satu bidak dalam papan catur yang jauh lebih besar.
Bagi konsumen dan profesional di AS yang bergantung pada drone DJI, keputusan ini bisa berarti akhir dari akses terhadap produk yang diakui secara global sebagai yang terdepan dalam industri. Bagi DJI, ini adalah pertaruhan eksistensial. Mampukah mereka bertahan tanpa pasar AS? Atau akankah mereka menemukan jalan untuk berdamai dengan regulator AS? Jawabannya akan menentukan tidak hanya masa depan DJI, tetapi juga lanskap persaingan teknologi dan drone global untuk tahun-tahun mendatang. Satu hal yang pasti: pertarungan antara inovasi dan keamanan nasional belum akan berakhir dalam waktu dekat.