
Technologue.id, Jakarta - Di tengah lanskap digital yang kian kompleks dan dinamis, ancaman siber tak lagi sekadar persoalan teknis IT. Semakin canggih, serangan kini mampu menyasar ke ranah sosial dan psikologis manusia.
Oleh sebab itu, PT Datacomm Diangraha mendorong percepatan adopsi sistem keamanan yang cerdas, adaptif, dan ditopang oleh kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI-driven security solutions), baik di sektor bisnis maupun sektor publik.
Berdasarkan laporan Lanskap Keamanan Siber 2024 dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), pada 2025 ancaman siber diproyeksikan akan terbagi ke dalam dua kategori utama: serangan sosial dan serangan teknis. Masing-masing memerlukan pendekatan berbeda, namun AI bisa menjadi solusi untuk keduanya
Serangan sosial atau dikenal dengan social engineering, tak kalah berbahaya dari serangan digital konvensional. Modusnya beragam: penipuan online, konten pornografi, judi online, hingga disinformasi. Semuanya menyasar celah paling rentan, yaitu, emosi dan kepercayaan manusia. Terlebih lagi, penggunaan AI dalam penyebaran konten deepfake memperparah eskalasi ancaman ini.
World Economic Forum bahkan menempatkan disinformasi sebagai salah satu risiko global jangka pendek paling serius tahun ini. Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Digital mencatat lebih dari 10 juta konten negatif telah ditangani sepanjang 2024. Mayoritasnya berisi penipuan, judi, dan pelanggaran hak cipta.
Dari sisi teknis, ancaman berkembang pesat. BSSN mencatat bahwa jenis serangan seperti web defacement, phishing, malware adaptif, dan serangan berbasis AI lainnya, semakin meningkat secara signifikan.
Teknologi AI kini digunakan oleh Threat Actor untuk menciptakan malware yang belajar dari perilaku sistem, serangan DDoS yang menyesuaikan pola secara real-time, hingga ransomware yang secara otomatis memilih target paling rentan.
"Ancaman siber kini berkembang layaknya entitas hidup—belajar, beradaptasi, dan menyerang secara masif dan presisi. Teknologi AI bahkan dimanfaatkan oleh threat actor untuk menciptakan serangan yang dinamis dan sulit dideteksi. Untuk mengimbanginya, organisasi harus beralih ke sistem keamanan berbasis AI yang mampu merespons secara cepat dan cerdas,” ujar Muhammad Haikal Azaim, Cybersecurity Operations and Detection Manager, PT Datacomm Diangraha.
Laporan global dari Team8 yang membuktikan kekhawatiran tersebut. Satu dari empat CISO (Chief Information Security Officer) mengaku telah mengalami serangan siber berbasis AI dalam satu tahun terakhir.
Angka tersebut kemungkinan masih di bawah angka riil, karena sebagian besar ancaman AI meniru perilaku manusia dan hanya bisa dideteksi dengan advanced metrics, seperti time to exploitation dan velocity indicators.