
Bayangkan harus merogoh kocek tambahan Rp 1,5 miliar hanya untuk mengajukan visa kerja seorang karyawan asing. Bagi banyak perusahaan, ini adalah mimpi buruk birokrasi. Namun, bagi para raksasa teknologi Silicon Valley, keputusan Presiden Donald Trump yang memberlakukan biaya $100,000 untuk aplikasi visa H-1B baru justru disambut dengan anggukan, bahkan pujian. Di tengah kebingungan dan kemarahan yang melanda dunia teknologi, suara-suara pemimpin seperti Reed Hastings (Netflix), Jensen Huang (Nvidia), dan Sam Altman (OpenAI) justru terdengar optimis. Apa yang dilihat oleh mereka yang tidak dilihat oleh orang lain?
Visa H-1B telah lama menjadi tulang punggung rekrutmen talenta global untuk industri teknologi Amerika Serikat. Setiap tahun, hingga 85.000 pekerja internasional dipekerjakan melalui program ini, memungkinkan perusahaan-perusahaan AS untuk mengakses bakat terbaik dari seluruh penjuru dunia. Perubahan kebijakan yang dikeluarkan pada akhir pekan ini, yang menurut Trump dimaksudkan untuk mendorong perekrutan domestik dan mencegah "penyalahgunaan" program, pada dasarnya mengubah sistem yang rumit menjadi transaksi yang lebih sederhana: bayar dan terima. Namun, simplifikasi ini datang dengan harga yang sangat mahal.
Lalu, mengapa para CEO yang biasanya sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah justru melihat sisi positif dari langkah ini? Jawabannya mungkin terletak pada konsep yang paling berharga di dunia bisnis: kepastian. Bagi perusahaan dengan kas yang melimpah, kepastian seringkali lebih bernilai daripada uang itu sendiri. Mari kita selami alasan di balik reaksi tak terduga ini dan implikasinya bagi masa depan tenaga kerja teknologi global. Seperti yang terjadi dalam dinamika kekuasaan di perusahaan teknologi, keputusan kebijakan seringkali menuai pro-kontra yang tajam.
Dari Lotre Menjadi Transaksi: Sebuah Penyederhanaan yang KontroversialSebelum perubahan ini, sistem H-1B sering digambarkan sebagai lotre. Marvin von Hagen, co-founder startup AI The Interaction Company of California asal Jerman, dengan tegas menyatakan, "Sebelumnya, H-1B hanyalah keberuntungan lotre," ujarnya kepada Business Insider. Ia mengkritik sistem lama yang tidak memprioritaskan keahlian atau nilai tambah kandidat, menyebutnya sebagai "cara terburuk yang mungkin untuk melakukan seleksi." Sistem lotre ini ada karena kuota H-1B dibatasi hingga 85.000 per tahun fiskal pemerintah. Administrasi Trump sendiri telah mengusulkan proses seleksi "terbobot" baru yang lebih memilih pekerja dengan keterampilan lebih tinggi dan gaji lebih besar.
Dengan biaya $100.000, dinamikanya berubah secara fundamental. Von Hagen berpendapat bahwa biaya tinggi ini akan mengurangi jumlah pelamar, sehingga sistem yang berbayar bisa menjadi lebih "jelas" bagi mereka yang tetap melamar. Bagi beberapa pendiri startup, kepastian untuk mendapatkan talenta kunci yang mereka butuhkan sepadan dengan biayanya. "Kepastian bernilai uang," tambah Ben Nasarin, Founder dan General Partner Tenacity Venture Capital. Nasarin menilai sebagian besar penolakan terhadap perubahan ini "sangat berlebihan" dan menyatakan bahwa ia belum menerima kekhawatiran dari para founder yang ia dampingi. Ia setuju bahwa H-1B telah terlalu sering digunakan dan perubahan ini bisa memaksa perusahaan untuk lebih mempertimbangkan perekrutan lokal, sebuah langkah yang juga pernah memicu reaksi dari pemimpin seperti Tim Cook yang kecewa dengan pembatasan visa pekerja.
Baca Juga:
Di sinilah ceritanya terbelah. Untuk perusahaan seperti Netflix, Nvidia, atau OpenAI, $100.000 mungkin hanya seperti rounding error dalam laporan keuangan mereka. Reed Hastings dari Netflix menyatakan kebijakan ini akan menciptakan "lebih banyak kepastian" untuk pekerjaan bernilai tinggi. Jensen Huang dari Nvidia menyambut baik langkah-langkah Trump, sementara Sam Altman dari OpenAI melihat "penyelarasan insentif keuangan" sebagai hal yang positif. Mereka memiliki "kantong dalam" untuk menanggung biaya ini tanpa mengedipkan mata.
Namun, bagi startup yang sedang berkembang, ceritanya sangat berbeda. Laporan menunjukkan bahwa beberapa startup bahkan membekukan perekrutan mereka sambil bersiap untuk lebih banyak perubahan. Bagi mereka, biaya sebesar ini bisa menjadi penghalang yang signifikan untuk mendapatkan talenta spesialis yang sangat mereka butuhkan untuk bersaing dengan raksasa-raksasa tersebut. Perbedaan respons ini menggarisbawahi kesenjangan sumber daya yang semakin lebar dalam ekosistem teknologi, sebuah celah yang juga mencerminkan celah digital yang lebih luas di Amerika Serikat.
Mencari Sisi Terang di Tengah Awan KebijakanBahkan di antara para pengkritik, ada yang mencoba menemukan sisi positif. Pengacara imigrasi Jason Finkelman mengakui bahwa meskipun perubahan ini sebagian besar negatif, biaya tinggi tersebut bisa menghentikan perusahaan penyalur tenaga kerja IT yang menggunakan H-1B untuk melakukan outsourcing dalam skala besar, yang pada akhirnya mungkin memaksa perusahaan AS untuk berinvestasi lebih banyak dalam pelatihan tenaga kerja domestik.
Pengacara imigrasi Sophie Alcorn melihat peluang bagi startup. Bergantung pada bagaimana pengecualian kepentingan nasional didefinisikan—sebuah pengecualian yang akan membebaskan pelamar tertentu yang melayani kepentingan nasional dari biaya—startup mungkin bisa memanfaatkannya. Selain itu, Alcorn berargumen bahwa biaya tersebut dapat mengurangi permintaan dalam lotre, membuat startup lebih mungkin untuk berpartisipasi. "Klien saya — mereka tidak mensponsori banyak orang. Mereka hanya berusaha untuk membawa satu orang yang sangat spesifik," katanya. Jika persaingan untuk tempat di lotre berkurang, mereka "mungkin merasa lebih nyaman untuk mensponsori bakat terbaik untuk H-1B."
Jadi, apakah kebijakan visa H-1B terbaru Trump adalah sebuah kemunduran atau sebuah koreksi yang diperlukan? Jawabannya, seperti banyak hal dalam teknologi dan kebijakan, tidak hitam putih. Bagi para raksasa yang memiliki sumber daya, ini adalah harga yang pantas untuk kepastian. Bagi para pemain kecil, ini adalah rintangan baru yang menakutkan. Yang jelas, langkah ini sekali lagi menunjukkan betapa dalamnya kaitan antara dunia teknologi dan politik, sebuah hubungan yang melibatkan banyak tokoh teknologi yang aktif dalam kancah politik. Perubahan ini bukan sekadar tentang visa; ini adalah tentang masa persaingan global untuk talenta terbaik dan siapa yang memiliki sumber daya untuk memenangkannya.