Contact Information

Alamat: Komplek Rumah Susun Petamburan Blok 1 Lantai Dasar, Tanah Abang - Jakpus 10260

We're Available 24/ 7. Call Now.
Trump Izinkan TikTok Tetap Beroperasi, Tapi Ada Syaratnya
SHARE:

Pernahkah Anda membayangkan TikTok penuh dengan konten berbau MAGA? Itu bukan lagi sekadar imajinasi liar. Presiden Donald Trump secara resmi telah memberikan lampu hijau bagi investor AS untuk mengambil alih TikTok, namun dengan komentar kontroversial yang mengundang tanya: apakah platform ini akan menjadi corong propaganda?

Dibalik sorotan kamera di Ruang Oval Gedung Putih, Trump menandatangani perintah eksekutif yang konon akan "mengamerikakan" TikTok sepenuhnya. Namun, jika kita menyelami lebih dalam, kesepakatan ini masih diselimuti kabut ketidakpastian. Rincian kepemilikan, persetujuan resmi dari China, dan yang paling krusial, nasib algoritma ikonik aplikasi tersebut, masih menjadi teka-teki yang belum terpecahkan. Situasi ini mengingatkan kita pada upaya pembelian TikTok yang pernah digagas Microsoft di masa lalu, yang penuh dengan lika-liku tak terduga.

Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di balik layar? Mengapa Trump yang dulu gigih ingin memblokir TikTok, kini justru menjadi "penyelamat"-nya? Artikel ini akan mengupas tuntas lika-liku kesepakatan TikTok, dari peta kepemilikan yang rumit hingga implikasinya terhadap kebebasan berekspresi di platform media sosial terpopuler saat ini.

Dari Ancaman Blokir ke Meja Perundingan

Posisi Trump terhadap TikTok ibarat roller coaster. Pada 2020, ia mengeluarkan perintah eksekutif untuk memblokir aplikasi ini dengan alasan keamanan nasional, sebuah langkah yang akhirnya kandas di pengadilan. Kemudian, pada Maret 2024, di tengah hiruk-pikuk pemilihan presiden, ia secara mengejutkan melakukan belokan 180 derajat dengan menyatakan tidak lagi ingin TikTok dilarang. Bahkan, sejak menjabat pada Januari 2025, Trump telah menunda pemberlakuan undang-undang yang mewajibkan divestasi TikTok sebanyak lima kali. Tindakan penundaan berulang ini, menurut banyak pengamat hukum, hampir pasti melanggar hukum, namun Kongres sejauh ini belum mengambil tindakan. Sebelum kesepakatan ini mulai menemui titik terang, situasinya sempat tidak menentu, seperti yang pernah diangkat dalam laporan mengenai penundaan blokir TikTok oleh Trump.

Peta Kepemilikan Baru: Siapa Mengendalikan Apa?

Meski Trump menyatakan segalanya "selesai," kenyataannya jauh dari kata final. Kelompok investor baru yang akan mengambil alih TikTok bahkan belum sepenuhnya terbentuk. Trump menyebut nama-nama besar seperti Larry Ellison (pendiri Oracle), Michael Dell (pendiri Dell Technologies), dan Rupert Murdoch terlibat. Ironisnya, Trump baru-baru ini menggugat Murdoch atas pencemaran nama baik. Struktur kepemilikan yang bocor ke media menunjukkan konsorsium yang dioperasikan oleh Oracle, Silver Lake, dan dana investasi MGX asal Abu Dhabi akan mengontrol sekitar 45% saham TikTok. Para investor ByteDance dan pemegang saham baru akan menguasai 35%, sementara ByteDance sendiri diizinkan mempertahankan 19,9%—tepat di batas maksimum yang diizinkan undang-undang.

Algoritma: Harta Karun yang Masih Diperebutkan

Inilah jantung permasalahan yang sebenarnya. Meski kepemilikan saham akan beralih, pertanyaan terbesarnya adalah: siapa yang mengendalikan algoritma rekomendasi TikTok? Algoritma inilah yang membuat pengguna terpaku berjam-jam dan menjadi rahasia kesuksesan platform. Laporan menunjukkan ByteDance akan tetap mempertahankan kendali atas algoritma tersebut dalam beberapa bentuk. Hal ini berpotensi menimbulkan gesekan dengan hukum AS yang bertujuan memutus hubungan dengan perusahaan China. Ketergantungan pada algoritma ini juga pernah menimbulkan kontroversi lain, seperti ketika TikTok menampilkan rekomendasi produk di video perang Gaza, yang memicu kritik tajam.

"100% MAGA": Ambisi dan Realita di Ruang Oval

Momen paling mencengangkan terjadi ketika seorang reporter bertanya kepada Trump apakah ia ingin algoritma TikTok baru lebih merekomendasikan konten terkait MAGA (Make America Great Again). Trump menjawab dengan canda yang sarat muatan, "Jika saya bisa, saya akan membuatnya 100% terkait MAGA." Tangisan tawa dari para stafnya mengiringi pernyataan itu. Namun, ia kemudian berusaha meredam dengan menyatakan bahwa semua pihak akan diperlakukan secara adil. "Tidak, semua orang akan diperlakukan secara adil. Setiap kelompok, setiap filosofi, setiap kebijakan akan diperlakukan dengan sangat adil," klaim Trump.

Namun, konsistensi klaim "keadilan" ini dipertanyakan hanya 30 menit kemudian dalam presentasi yang sama. Trump menandatangani memorandum presiden yang menargetkan kelompok kiri dan anti-fasis untuk dituntut, dengan menyebut mereka sebagai "anarkis dan penghasut." Direktur FBI Kash Patel, Jaksa Agung Pam Bondi, dan penasihat senior Stephen Miller hadir untuk mengancam kelompok-kiri, menyatakan mereka sebagai "teroris domestik." Kontras antara janji kebebasan di TikTok dan represi terhadap kelompok oposisi dalam waktu yang hampir bersamaan menyajikan gambaran yang paradoks.

Langkah Selanjutnya: Banyak Halangan Menuju Garis Finish

Jalan menuju finalisasi kesepakatan ini masih panjang dan berliku. Persetujuan formal dari China, meski diklaim Trump telah diberikan oleh Presiden Xi Jinping, masih harus diperoleh. Rincian hukum yang rumit juga belum sepenuhnya disepakati. Kongres AS berpotensi mempertanyakan apakah struktur kesepakatan ini benar-benar mematuhi bunyi undang-undang, mengingat ByteDance masih memegang saham signifikan dan kemungkinan tetap memiliki kendali atas teknologi intinya. Dengan kata lain, klaim Trump bahwa semuanya "beres" lebih merupakan optimisme daripada fakta di lapangan.

Nasib TikTok lebih dari sekadar transaksi bisnis. Ia menjadi cermin dari pertarungan geopolitik, ambisi kekuasaan, dan masa depan kebebasan berekspresi di dunia digital. Di satu sisi, ada keinginan untuk melindungi data warga AS. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa platform yang seharusnya netral akan berubah menjadi alat politik. Ketika seorang pemimpin dengan terbuka berkhayal untuk mengisi timeline media sosial dengan konten propaganda nya sendiri, batas antara keamanan nasional dan penyensoran menjadi semakin kabur. Bagaimana algoritma TikTok akan benar-benar berperilaku pasca-kesepakatan? Hanya waktu yang akan menjawab. Tapi satu hal yang pasti: pertaruhan nya sangat tinggi, bukan hanya untuk masa depan sebuah aplikasi, tetapi untuk iklim demokrasi digital global.

SHARE:

Nonton Vidio Kini Bisa Sambil Check-out Shopee

Indosat Luncurkan PaPeDa, Program Pemberdayaan Perempuan Daerah Lewat SheHacks